MENANGIS
Emha Ainun Nadjib (1987)
Sehabis sesiangan bekerja di
sawah-sawah serta disegala macam
yang diperlukan oleh desa rintisan
yang mereka dirikan jauh di
pedalaman, Abah Latif mengajak
para santri untuk sesering
mungkin bersholat malam.
Senantiasa lama waktu yang
diperlukan, karena setiap kali
memasuki kalimat " iyyaka
na'budu " Abah Latif biasanya lantas
terhenti ucapannya,
menangis tersedu-sedu
bagai tak
berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang
amat berat untuk melampaui
kata itu, Abah Latif akan
berlama-lama lagi macet lidahnya
mengucapkan " wa iyyaka nasta''in" .
Banyak di antara jamaah yang
turut menangis, bahkan terkadang
ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai
atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus berpijak,
sebagaimana setiap pohon harus
berakar," berkata Abah Latif seusai wirid
bersama, " Mengucapkan
kata-kata itu dalam
Al-fatihah pun harus ada akar
d an
pijakannya yang nyata dalam kehidupan.
'Harus' di situ titik
beratnya bukan sebagai aturan,
melainkan memang demikianlah
hakikat alam, di mana manusia
tak bisa berada dan berlaku
selain di dalam hakikat itu."
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang
mulut para santri.
" Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan,
" apa akar dan pijakan
kita dalam mengucapkan kepada Alloh
..iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu
yang toh baik dan
merupakan bimbingan Alloh itu
sendiri, Abah?" bertanya seorang
santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan
kata, Nak, kita hanya boleh
mengucapkan kehidupan."
"Belum jelas benar bagiku, Abah?"
" Kita dilarang mengucapkan kekosongan,
kita hanya diperkenankan
mengucapkan kenyataan."
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang
mulut para santri.
Dan Abah Latif meneruskan,
" Sekarang ini kita mungkin sudah
pantas mengucapkan iyyaka
na'budu.KepadaMu aku menyembah.Tetapi
kaum Muslimin masih belum memiliki suatu
kondisi keumatan untuk
layak berkata kepadaMu kami menyembah,
na'budu."
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses
dan tahapan pencapaian
sejarah kita sebagai diri pribadi
serta kita sebagai ummatan
wahidah.Ketika sampai di kalimat na'budu,
tingkat yang harus kita
telah capai lebih dari abdullah,
yakni khalifatulloh.Suatu maqom
yang dipersyarati oleh kebersamaan
kamu muslim dalam menyembah
Alloh di mana penyembahan itu
diterjemahkan ke dalam setiap
bidang kehidupan.Mengucapkan iyyaka na'budu
dalam sholat mustilah
memiliki akar dan pijakan di mana kita kaum
muslim telah membawa
urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan
sosial dan politik
serta segala urusan lain untuk menyembah
hanya kepada Alloh.Maka
anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa
ini lidah kita
tidak kelu dan airmata tak
bercucuran tatkala harus mengucapan
kata-kata itu?"
"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang
para santri.
"Al-fatihah hanya pantas diucapkan
apabila kita telah saling
menjadi khalifatulloh di dalam berbagai
hubungan kehidupan.Tangis
kita akan sungguh-sungguh tak tak
berpenghabisan karena dengan
mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah
secara terang-terangan
menipu Tuhan.Kita berbohong kepada-Nya
berpuluh-puluh kali dalam
sehari.Kita nyatakan bahwa kita meminta
pertolongan hanya kepada
Alloh, padahal dalam sangat
banyak hal kita lebih banyak
bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan
mekanisme yang pada
hakikatnya melawan Alloh."
Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulut
para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam
dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke
urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke
pasar, ke
kantor-kantor, ke
panggung-panggung dunia yang luas:
tekunilah, temukanlah salah
benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.Kemudian peliharalah
kepekaan dan
kesanggupan untuk tetap
bisa menangis.Karena alhamdulillah,
seandainya sampai akhir hidup
kita hanya diperkenankan untuk
menangis karena keadaan-keadaan itu :
airmata saja pun sanggup
mengantarkan kita kepada-Nya."
----------------------------------------------------
Dari :
Seribu Masjid Satu Jumlahnya
Tahajjud cinta seorang hamba
Penerbit Mizan 19995