ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA

DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI TURKI

Oleh Komaruddin Hidayat

Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami  sebagai suatu  teori  ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang  baik  dan  apa  yang  buruk  berkenaan  dengan   perilaku manusia.  Dengan  kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori  mengenai  penyelenggaraan  hidup yang  baik.  Persolan  etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau  kembali  secara  kritis. Moralitas   berkenaan   dengan   tingkah  laku   yang  konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level  teori.  Nilai-nilai  etis yang   difahami,   diyakini,  dan  berusaha  diwujudkan   dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. [1]

Sebagai  cabang  pemikiran  filsafat,  etika  bisa    dibedakan manjadi  dua:  obyektivisme  dan  subyektivisme.  Yang pertama berpandangan bahwa  nilai  kebaikan  suatu  tindakan  bersifat obyektif,  terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan  apa  yang  disebut  faham  rasionalisme   dalam etika.  Suatu  tindakan  disebut  baik,  kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau  karena  sejalan  dengan kehendak  masyarakat,  melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung  aliran  ini  ialah  Immanuel  Kant, sedangkan dalam Islam --pada batas tertentu-- ialah aliran Muitazilah. [2]

Aliran kedua ialah  subyektifisme,  berpandangan  bahwa  suatu tindakan  disebut  baik  manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa  saja  berupa subyektifisme  kolektif,  yaitu  masyarakat,  atau  bisa   saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika  ini  terbagi  kedalam beberapa  aliran,  sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy’ariyah.

Menurut  faham  Asy’ariyah,  nilai  kebaikan  suatu    tindakan bukannya  terletak  pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa menusia  itu  bagaikan  ‘anak  kecil’  yang  harus   senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu  manusia  tidak  mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.

Kalau  kita  sepakati  bahwa  etika  ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk,  bagaimana  halnya dengan   teori   etika   dalam  kitab  suci?   sedangkan  telah disebutkan di muka, kita  menemukan  dua  faham,  yaitu  faham rasionalisme   yang   diwakili   oleh   Mu’tazilah   dan  faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah.

Munculnya perbedaan itu memang  sulit  diingkari  baik  karena pengaruh  Filsafat  Yunani  ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an  sendiri  yang  mendorong  lahirnya perbedaan  penafsiran.  Di  dalam  al-Qur’an pesan etis selalu saja   terselubungi   oleh   isyarat-isyarat    yang   menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia. [3]

ETIKA DAN KEBEBASAN

Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bilamana tindakan  itu  produk  pilihan  sadar  dalam situasi  bebas,  bukannya  terpaksa.  Suatu pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya ketika  seseorang  berbuat  dalam keadaan  sadar  dan  bebas.  Dengan demikian, etika senantiasa mengamsumsikan kebebasan.  Semakin  besar  wilayah  kebebasan, semakin besar pula pertanggungjawaban moralnya.

Dalam   perspektif   di   atas,   maka    faham  Jabariah  yang berpandangan  bahwa  tindakan  manusia  adalah  bagaikan,gerak wayang,  yang  ditentukan  oleh  ‘dalang’  tak ada tempat bagi konsep etika voluntarisme rasional Kantianisme.

Etika  voluntarisme  rasional   melahirkan   suatu    pandangan terhadap  manusia  sebagai  sosok  manusia berakal yang dewasa suatu  pandangan   positif   bahwa   manusia    memang   pantas mendapatkan  julukan  ahsan-u ‘l-taq wim, puncak ciptaan Tuhan meskipun  keunggulan  kualitas   manusia   itu    masih   harus diperjuangkan   dan   disempurnakan   sendiri    oleh  manusia. Barangkali saja dalam perspektif yang demikian ini  kita  bisa memahami  mengapa  pewahyuan Tuhan melalui para rasulNya telah diakhiri,  sementara  kehidupan   menusia   kian    hari   kian berkembang sedemikian kompleknya.

Sebelum  kerasulan  Muhammad  problema kehidupan manusia tidak sekomplek pasca-Muhammad, namun  justeru  pada  masa-masa  itu Allah  sering  mengirimkan  rasul-rasulNya.  Mengapa demikian, biasanya kita mengajukan dua jawaban. Pertama, tuntutan  Allah yang   diturunkan   kepada   manusia.  Kedua,   manusia  dengan kemampuan rasionalitasnya telah mampu  mengevaluasi  kehidupan kesejarahan untuk menciptakan kebaikan hidup mereka.

Klaim  yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama paripurna tersirat pada  surat  al-Maidah  ayat  3  dan   surat al-Anbiya  ayat  107.  Yang  pertama  menyebutkan  bahwa Islam adalah nikmat  Tuhan  yang  telah  disempurnakan,  yang   kedua menyatakan  bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Secara dogmatis theologis kedua klaim  di  atas  memang  sudah lazim  diterima  oleh  umat  Islam,  namun secara rasional dan empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta  diuji  kembali kebenarannya dalam perjalanan sejarahnya.

Dari  analisis bahasa dan sosio-historis, Islam hadir bukannya dalam ruang kosong, melainkan dalam wacana yang memiliki sifat lokal   dan  partikular.  Secara  eksplisit  disebutkan   bahwa al-Qur’an  disebarluaskan  dengan  menggunakan  bahasa    Arab. Bahasa  mau  tidak  mau  bersifat  budaya,  ia  terikat dengan kaidah-kaidah sosial dan konsensus budaya. Jadi, universalitas pesan  al-Qur’an akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga memiliki dimensi universal. Dalam  hal  ini  rasionalitas  dan substansi   bahasalah  yang  secara  jelas  merupakan   dimensi universal yang melekat pada manusia.  Manusia  dibedakan  dari binatang  terutama  adalah  karena  manusia  merupakan   animal symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan symbol-symbol.  [4] Berbahasa pada dasarnya adalah berpikir, dan berpikir tidaklah mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa  tidak  selalu  harus berbicara ataupun menulis.

Karena  adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka suatu masyarakat tercipta, komunikasi antar mereka berlangsung,  dan dunia  di  sekitarnya  memperoleh  makna.  Barangkali fenomena inilah yang telah diisyaratkan oleh al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 dimana Allah telah mengajar ‘nama-nama’ pada Adam.

Karena  rasionalitas  dan  sistem symbol yang dimiliki manusia maka realitas masa lampau bisa direkontruksi, diceritakan  dan dihadirkan  kembali  di  hadapan  kita melalui narasi sejarah. Suatu nilai,  cita-cita  dan  gagasan  masa  lampau  pun   bisa diwariskan  kepada generasi ke generasi lantaran adanya sistem simbol ini. Dan sesungguhnya hanyalah  al-Qur’an  yang  secara eksplisit dan tegas agar umat Islam mengembangkan rasionalitas dan sistem simbol  untuk  membangun  peradabannya.  Kita  bisa membuat  suatu  pengandaian, kalau saja al-Qur’an bertentangan dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan  bahwa  Islam  telah terdistorsi  dalam  perjalan  sejarahnya. Lebih dari itu etika Islam akan teranomali dalam kehidupan modern.

Dengan kata lain,  al-Qur’an  dan  pesan-pesannya  kini   telah menjadi  bagian integral dari realitas sejarah masa lampau dan tetap hidup sampai kini, tanpa adanya revisi dan campur tangan Tuhan,  baik  isi  maupun  redaksionalnya.  Di  sini   tersirat pandangan positif al-Qur’an tentang manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat  al-Qur’an  segera  kelihatan  bahwa etika al-Qur’an amat humanistik dan  rasionalistik.  Pesan  al-Qur’an  seperti halnya   ajakan   kepada   keadilan,   kejujuran,   kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras,  cinta  ilmu,  dan  lain sebagainya, semuanya amat sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para filosof.

Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua  ciri utama.  Pertama,  etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua,  etika  Islam  amat  rasionalistik.   Sekedar    sebagai perbandingan  baiklah akan saya kutipkan pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai  teori  dan  definisi  mengenai  modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu:  kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode  baru;  kesediaan  buat   menyatakan    pendapat; kepekaan  pada  waktu  dan  lebih  mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah  lampau;  rasa  ketepatan waktu  yang  lebih  baik;  keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia  sebagai  suatu  yang bisa dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan  keyakinan  pada  keadilan  yang  bisa diratakan. [5]

Rasanya  tidak  perlu  lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan Inkeles  dan  diklaim  sebagai  sikap  modern   itu memang  sejalan  dengan etika al-Qur’an. Dalam diskusi tentang hubungan antara  etika  dan  moral,  problem  yang   seringkali muncul  ialah  bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif  teori  etika  yang bersifat rasional dan universal.

Islam  yang  mempunyai  klaim  universal  ketika  dihayati dan direalisasikan  cenderung  menjadi  peristiwa  partikular  dan individual.  Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral  ini  akan menjadi  pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya  saja,  nilai  solidaritas  kadangkala berbenturan  dengan  nilai  keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat  penting.  Yakni  bagaimana  mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika  obyektif, tindakan  mikro  dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin.

Dalam  teori  etika,  tindakan  moral  mengamsumsikan    adanya otonomi  perbuatan  manusia.  Menurut  Islam,  untuk   mencapai otonomi dan kebebasan sejati tidaklah  harus  ditempuh  dengan menyatakan  ‘kematian  Tuhan’ sebagaimana diproklamasikan oleh Nietzsche atau Sartre  misalnya,  keduanya  berpendapat  bahwa manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan serta  dalam  perbudakan  selama   tindakan   moralnya    masih membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya, menusia  haruslah  bertanggungjawab  kepada  dirinya  sendiri, bukannya  pada  Tuhan.  Lebih dari itu, untuk mencapai derajat kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan kemudian     menggali     dan     mengaktualisasikan    potensi kemanusiaannya.

Dasar pemikiran seperti di  atas  tentu  saja  berangkat  dari konsepsi   ketuhanan  dalam  tradisi  Kristen.  Dalam   sejarah pemikiran Barat kita mencatat  bahwa  untuk  mencapai  derajat filsuf  biasanya  mereka  mesti  bentrok dengan doktrin gereja tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islam  justru  ketika  tindakan kita  diorientasikan  pada  Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha Bebas, maka kita tidak akan terjebak dalam  relativisme  dunia dan sebaliknya kita akan terangkat menuju pada atmosphere Yang Maha Otonom.

Pengakuan bahwa kita bukan makluk sempurna  yang  sudah  jadi, dan  kemudian  diikuti  dengan usaha kontinyu menuju Yang Maha Sempurna, di sanalah terletak  makna  keimanan  yang  dinamis. Menurut   Kant,   puncak   rasionalitas   pada   akhirnya  akan mengantarkan pada pintu keimanan yang bersifat supra-rasional. Tuhan,   keimanan,   dan   kemerdekaan   bukanlah   obyek  ilmu pengetahuan. Semua  berada  di  luar  jangkauan  rasio,   namun puncak   rasionalitas  mengantarkan  menusia  untuk   melakukan loncatan ke arah sana. [6]

ETIKA ISLAM: PENGAMATAN DI TURKI

Islam di Turki mempunyai sejarah panjang, bisa  ditelusuri  ke belakang  sejak  abad ke-19 sampai hari ini. Bangsa Turki yang sekarang berpusat di wilayah  Balkan  dan  Anatolia  itu  pada mulanya pendatang dari daerah Turkestan, terletak antara Rusia dan Cina.

Untuk  menyederhanakan  diskusi  kita,   saya   akan    membagi periodisasi  Islam  di  Turki, yaitu Islam di masa Ottoman dan Islam semasa Republik, yang berlangsung sejak 1924 hingga hari ini.  Ada  tiga  pertanyaan  pokok  yang hendak diangkat dalam uraian berikut ini. Pertama,  bagaimanakah  pergumulan  antara nilai-nilai   keislaman  dan  tradisi  bangsa  Turki   di  masa Ottoman? Kedua apakah dampak gerakan  Kemal  Ataturk  terhadap kelanjutan  Islam  di  Turki?  Ketiga,  bagaimana perkembangan Islam di Turki dewasa ini dalam etika Islam?

ISLAM DI MASA OTTOMAN

Dinasti Ottoman yang berdiri pada abad ke 14 dan berakhir pada awal  abad-20  tentu  saja merupakan lahan kajian sejarah yang amat kaya sehingga tidak  mungkin  makalah  singkat  ini  bisa manyajikan  potret global yang memadai. Namun begitu bisa saja kita membuat karakterisasi keislaman bangsa  Turki  pada  masa Ottoman,  meskipun  bahaya simplifikasi dan reduksi tidak bisa dielakkan.

Secara  antropologis  bangsa  Turki  kadangkala  disebut   ‘war nation’  ataupun  ‘war  machine.’  Hal ini terlihat dari karir mereka  dalam  perluasan  wilayah   kekuasaan   Ottoman    yang terbentang  sejak dari Afrika, India, Persia dan bahkan sampai Eropa. Sejak mulanya ideologi Ottomanisme dan Islamisme saling kait berkait sedemikian rupa, keduanya didukung oleh ethos dan keunggulan militer yang sulit dicari tandingnya.  Baik  semasa Abasid  maupun  Seljuk  bangsa Turki ini telah dikenal sebagai pasukan  berkuda  yang  handal.  Militansi   kemiliteran    ini ditopang  oleh spirit jihad melawan orang kafir Eropa sehingga dengan begitu semangat penaklukan semakin berkobar.

Abad-16  merupakan  masa  puncak  kejayaannya,  yang    diikuti kemudian  oleh  berbagai  krisis,  dan berakhirlah dinasti ini setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I.  Krisis  ini datang dari dua jurusan dari dalam dan dari luar.

Massa  rakyat  di  bawah  kekuasaan Ottoman adalah kaum petani yang   tidak   mendapat   pendidikan   secara    baik.   Dengan mengandalkan  kontrol secara militer dan doktrin ketaatan pada Sultan sebagai pemimpin  agama,  pada  mulanya  rakyat  secara mudah  bisa  dikuasai.  Tetapi situasi demikian tidak bertahan selamanya. Berbagai kelompok  agama,  suku,  dan  bangsa  yang bernaung di bawahnya lama kelamaan berkembang sebagai ancaman, terutama setelah meletusnya Revolusi Perancis dimana  semangat nasionalisme menggulir dan menggerogoti kekuasaan Ottoman.

Sejak   itu  secara  diam-diam  muncul  tiga  ideologi,   yaitu Ottomanisme,  Islamisme,  dan   Turkisme.   Karena    kekuasaan cenderung  berpihak  pada  ambisi pribadi bukannya akal sehat, Raja-raja  Osmani  (Ottoman)  tetap  mempertahankan    ideologi Ottomanisme,   sementara  Islam  cenderung  diperalat   sebagai ideologi pendukungnya.  Dengan  kata  lain,  keislaman  semasa Ottoman  adalah  keislaman  yang berciri ideologi untuk ambisi kekuasaan, bukannya keislaman yang melahirkan  ethos  keilmuan dan peradaban modern.

Krisis  Ottoman  semakin terlihat di permukaan ketika apa yang disebut ‘millet system’  semakin  otonom  dari  kontrol   pusat sementara  Eropa  sudah  bangkit  dari keterbelakangannya. [7] Millet system dan capitulation adalah suatu bentuk  perjanjian antara  Ottoman  dan  kekuasaan asing untuk menjalin kerjasama ekonomi berdasarkan  pengelompokan  agama.  Sebagai  akibatnya kelompok-kelompok   agama  non-Muslim  yang  berada  di   bawah kekuasaan  Ottoman  lama-lama  berubah  manjadi    perpanjangan tangan dari kekuatan Kristen Eropa untuk menghancurkan Ottoman dari dalam, melalui jalur  penguasaan  ekonomi  oleh  kelompok minoritas non-muslim. [8] Krisis yang melanda Libanon hari ini akar penyebabuya bisa ditelusuri pada millet system ini.

Sebagaimana dikemukakan oleh Don Peretz, "The general decay of Ottoman  governmental  institutions coincided with the rise of more powerful European nation states”. [9] Berbagai cara untuk mengantisipasi kemerosotan Ottoman telah dicoba, misalnya saja oleh gerakan  Tanzimat,  Turki  Muda,  dan  Sultan  Mahmud   II (1808).  Di  antara  ciri-ciri  gerakan  yang ditawarkan ialah berusaha untuk mengenalkan mesin percetakan, ilmu kemiliteran, dan semacamnya yang dipandang sebagai gerakan baru di Eropa.

Namun  berbagai  usaha  itu gagal, antara lain disebabkan oleh fanastisme  teologis  yang  menimbulkan  keyakinan   kuat    di kalangan  Sultan  bahwa Tuhan mesti berpihak pada dirinya, dan orang kafir Eropa  tidak  mungkin  bisa  mengalahkan  kekuatan Islam.  Lebih  dari  itu,  sistem  pembagian  kekuasaan secara rasional dengan melibatkan partisipasi massa  sama  sekali  di luar  jangkauan  para  sultan.  Pendeknya  Sultan adalah pusat kekuasaan, sedangkan gagasan-gagasan baru yang dikenalkan dari Eropa  yang tengah bangkit itu dicurigai sebagai kekuatan yang merongrong wibawa Sultan  serta  dicap  sebagai  budaya  kafir Eropa.

Demikianlah,   Islam  yang  pada  mulanya  telah   mengantarkan kejayaan  Ottoman,  pada  akhirnya  Islam  di   ideologisasikan sebagai  kekuatan  penyangga  Ottoman yang nampak besar tetapi sangat rapuh. Tampaknya perjumpaan  antara  Islam  dan  bangsa Turki  Usmani  lebih menonjol dalam melahirkan ethos jihad dan ketaatan pada uli al-amri  ketimbang  ethos  kerja  dan  ethos keilmuan.  Oleh  karenanya  kita  akan  kecewa  kalau   mencari tokoh-tokoh pemikir Islam yang brilian  yang  dilahirkan  oleh bangsa Turki Usmani.

GERAKAN KEMAL ATATURK: MASALAH PENAFSIRAN

Mengawali  uraian  saya mengenai Islam pasca-Ottoman saya akan mengutip tiga pendapat sarjana ahli tentang Turki:

    After a century of Westernization, Turkey has undergone     immense changes-greater than any outside observe had     thought possible. But the deepest Islamic roots of     Turkish life and culture are still alive, and the     ultimate identity of Turk and Muslim in Turkey is still     unchallenged. (Bernard Lewis, 1961)

        It has often been thought that this secularism signified     the separation of state and religion somewhat along the     lines of French laicism and the involved and     anti-religious policy seeking to eliminate Islamic     faith. These assumptions are no correct. In fact, the     new Turkish Republican regime tried to implement its     constitutional mandate of freedom of concience by     setting up goverment agencies charged with helping     citizens to approach Islam through reason rather than     tradition. (Howard A. Reed, 1981)

        The revitalization of Islam in this country is partly     due to the success of the campaign to universalize     education which was the foundation stone of the secular     Turkish Republic and partly to economic achievements in     the period 1950-1980. Syerif Mardin, 1989)

Pada   29   Oktober   1923   secara    resmi   Republik   Turki diproklamirkan  oleh  sidang  parlemen  dimana  Mustafa   Kemal terpilih sebagai  Presiden  pada  umurnya  yang  ke-42   tahun. Gerakan  republiken  ini sekaligus menghadapi dua musuh, yaitu kekuatan Sekutu yang  hendak  menguasai  Turki,  dan  kekuatan tradisional yang berpihak pada ideologi teokratik Osmani.

Bila  kita  telaah  bunyi  ke-6  sila ideologi Kemalisme, akan terlihat begitu jelas bahwa setiap  silanya  merupakan  kritik dan sekaligus anti-thesis terhadap paradigma Ottomanisme. [10] Sila   yang   dianggap   kontroversial   tentu    saja   dengan dinyatakannya  bahwa  Turki menganut faham sekuler. Pernyataan ini dinilai oleh dunia Islam lainnya sebagai tindakan ‘murtad’ dalam pemikiran politik Islam.

Tetapi  kalau  gerakan Ataturk kita tempatkan dalam perspektif sejarah, akan terlihat bahwa gerakannya merupakan mata  rantai yang  berkesinambungan  dengan  gerakan  sebelumnya.  Apa yang dilakukan Ataturk merupakan  pengejawantahan  ide-ide  gerakan modernisasi  dan  westernisasi  yang  pernah  dicanangkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, terutama Ziya Gokalp.

    Zia Gokalp, starting with Durkheim, formulated his own     concept of community and society, which he defined as     culture group and cilivization group. Turkism, according     to Gokalp, aimed at synthesis of Turkish nationalism,     islam, and modernization, althouh its formula was very     different from that of the Islamic modernist.” [11]

Apa yang dirumuskan Gokalp di atas sampai  kini  hampir  tidak pernah   ditentang   oleh  para  intelektual  Turki.   Hal  ini mengisyaratkan bahwa secara  cultural  dan  intelektual  Islam tetap  bertahan  dan  bahkan  sebagai  identitas  bangsa Turki sampai hari ini. Bila semasa  Ottoman  Islam  telah  mengalami ideologisasi  untuk mendukung ambisi kekuasaan, kini keislaman bangsa Turki lebih bersifat individual  dan  cultural.  Dengan ungkapan  lain,  Ataturk,  sebagaimana Gokalp, akan sependapat untuk mengatakan “Islam-Yes, Negara Islam-No”.

Yang secara tegas-tegas ditentang oleh gerakan Ataturk  adalah Ideologi  Klerikisme, bukannya nilai-nilai Islam. Bahkan dalam prateknya  sikap  Ataturk  begitu  ekstrim  mengikis    warisan klerikisme  Ottoman,  hal  ini  tidak  bisa  diingkari.   Namun begitu, adakah  cukup  sah  untuk  menghukum  Ataturk   sebagai pengkianat dan telah membuat ‘blunder’ bagi perkembangan Islam di Turki ataukah justeru Ia telah  tampil  sebagai  penyelamat eksistensi  Islam  bagi  bangsa  Turki,  kita  dihadapkan pada masalah interpretasi sejarah.

Ketika Turki Usmani  berada  di  ambang  kehancuran,  terutama setelah  kekalahannya  dalam  Perang  Dunia I, Ataturk melihat bahwa satu-satunya ideologi  gerakan  yang  bisa  memobilisasi massa  dan  kaum  intelektual  Turki  waktu  itu  tak ada lain kecuali ideologi nasionalisme. Sedangkan model pembaharuan dan alternatif satu-satunya ialah meniru Barat.

Ideologi  kekhalifahan  tidak lagi memiliki daya panggil untuk berjihad  melawan  kekuatan  Sekutu.  Bahkan   sejak    sebelum meletusnya  Perang  Dunia  ke-I beberapa wilayah Ottoman telah menunjukkan usahanya untuk  memberontak  dan  melepaskan  diri dari  pusat  simbol nasionalisme. Di sini sosok ‘nasionalisme’ menampilkan dua fungsinya yang berlawanan.

Ketika Ottoman pada puncak  kejayaan,  Eropa  menggunakan  isu nasionalisme   untuk   memobilisasi   massa    melawan   Eropa. Demikianlah,  sebagaimana  perjuangan  kemerdekaan  Indonesia, ideologi  nasionalisme dan Islamisme secara simbolik digunakan Ottoman.

Kemudian, bagaimana kita mesti merumuskan  peran  Ataturk  dan gerakan  revolusinya  dalam  perspektif  perjalanan  Islam   di Turki?  Ada  kemiripan  antara  Ottoman  dan  gerakan   Ataturk melihat  Islam.  Yaitu  Islam  didekati  secara amat pragmatik untuk  tujuan  politik.  Sebagai  pengagum  Durkheim,   Ataturk melihat  Islam  sebagai  refleksi sosial masyarakat Turki yang telah  berakar  sedemikian   rupa   yang    memiliki   kekuatan integratif  bagi  pertumbuhan  bangsa  Turki. Dengan demikian, sejak semula tokoh-tokoh gerakan modernisasi dan  westernisasi di  Turki  tidak pernah menyatakan anti-agama, melainkan ingin mengadakan rasionalisasi agama, agar  agama  menjadi  kekuatan penopang bagi kemajuan bangsa Turki.

Jadi,   kalaupun   Ataturk   bisa   dianggap   penyelamat  bagi kelangsungan Islam  di  Turki  dari  ancaman  Eropa  dan   dari penetrasi  para  missionaris  Kristen,  jasanya terhadap Islam merupakan implikasi  tidak  langsung  dari  dedikasinya  dalam membela   bangsa   Turki   dengan   semangat   nasionalismenya. Sebagaimana dikemukakan oleh Syerif Mardin, sistem  pendidikan Barat  yang  dipaksakan  oleh  Ataturk  ternyata telah berjasa besar  bagi  peningkatan  intelektual  'kaum  santri.'   Sistem pendidikan  Barat yang sejak awal abed-19 hendak diterapkan di Turki oleh kalangan intelektual muda dan selalu ditentang oleh jajaran  Sultan,  baru  berhasil  direalisir pada awal abad-20 dengan  cara  paksa  dan  setelah   Ottoman    berada   diujung kehancuran.  Dengan  demikian, kalau saja Revolusi Ataturk ini berlangsung seabad  sebelumnya,  mungkin  sekali  nasib  dunia Islam  tidak  akan  tertinggal  sedemikian  jauhnya dari Barat dalam bidang iptek dan sosial kemasyarakatan.

Bagaimana   ketertutupan   Ottoman   dari    pengaruh   gerakan modernisme  Eropa  waktu  itu  diungkapkan  oleh  Bernad Lewis sebagai berikut:

    ... the scientific awakening, humanism, liberalism,  rationalism, the enlightenment - all great European adventures and confilcts of ideas passed unnoticed and     unreflected in society to which they were profoundly  alien and irrelevant. The same is true of the great  social, economic, and political changes. The rise and fall of the baronage, the rise of the new middle class,     the struggle of money and land, of city-state, and     Empire all the swift yet complex evolution of European     life and society, have no parallel in the Islamic and     Middle Eastern civilization of the Ottomans. [12]

EKSPERIMEN SEJARAH YANG MONUMENTAL

Suatu hal yang sudah pasti amat berharga bagi dunia Islam pada umumnya  ialah bahwa Turki telah melakukan eksperimen sejarah, secara terang-terangan menyatakan sebagai negara sekuler serta mengambil Barat sebagai model modernisasinya.

Tidak  lama  setelah meletusnya Revolusi Iran (1979), beberapa wartawan asing berdatangan ke Turki dengan  perhitungan  bahwa negara yang akan mudah tersulut oleh Revolusi itu ialah Turki. Dugaan itu tidaklah terlalu salah. Pertama, pemeluk  Syiah  di sana  diperkirakan  sekitar  10 juta, meskipun angka ini tidak pernah  terungkap  secara   resmi.   Kedua,    walaupun   Turki dinyatakan  sebagai  negara  sekuler, Islam tetap berakar kuat pada masyarakat Turki, sementara agama selain  Islam  tak  ada hak hukum untuk menyebar-luaskan missinya.

Republik Turki yang berjumlah sekitar 55 juta itu sebanyak 99% adalah muslim dan antara  ‘keislaman'  dan  'keturkian'  telah menyatu  sebagai  identitas diri setiap orang Turki, betapapun kadar dan  corak  keislaman  mereka.  Sebutan  'sekuler'   bagi negara  Turki  sejak  mulanya  sesungguhnya  tidak tepat kalau istilah sekuler itu difahami dalam konteks negara Barat.

Di Barat paham sekularisme muncul antara lain  sebagai  akibat logis  dari  doktrin  gereja  dan  akibat  pertumbuhan   sains, teknologi  dan  ekonomi,   dimana   etika    Kristiani   secara epistemologis   tidak   sanggup   menghubungkan  antara   faham modernisme  dan   keyakinan   agama.   Sedangkan    di   Turki, sebagaimana  dikemukakan Syerif Mardin, hasil westernisasi dan modernisasi sistem pendidikan yang  diimport  Ataturk  justeru pada gilirannya telah memberikannya peluang dan fasilitas bagi umat Islam Turki untuk beradaptasi dengan  dunia  Barat  tanpa harus terserabut keyakinan agamanya.

Jadi,  corak  keislaman  yang muncul dewasa ini bisa dikatakan sebagai keislaman pasca-Ottoman dan pasca-Kemalisme.  Terutama sejak 1O tahun terakhir ini, secara ideologis antara Kemalisme dan Pancasila hanya berbeda dalam teorinya  saja,  namun  pada praktek kenegaraan tidak jauh berbeda, yaitu baik Turki maupun Indonesia  bukanlah  negara  teokratis,  bukan  pula   sekuler. Negara  bertanggungjawab bagi pembinaan dan pengembangan Islam bagi masyarakat Turki. Hal ini antara  lain  termanifestasikan dalam  pembinaan  sekolah-sekolah agama, sejak dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi, sejak  dari  pengangkatan  para  imam atau  khatib  sebagai pegawai negeri sampai pengangkatan Atase Agama pada kedutaan Turki  untuk  memberikan  pelayanan  agama pada masyarakat Turki di negeri orang.

Secara  sosiologi,  barangkali saja keislaman model Turki akan juga dilalui  oleh  masyarakat  Islam  lainnya  ketika   mereka memasuki  kehidupan  modern.  Salah  satu  cirinya ialah agama cenderung  sebagai  urusan  pribadi,  sebagai  tuntutan    etis terjadinya  depolotisasi  dan  deideologisasi  agama,  praktek ibadah yang cenderung “longgar" meningkatnya minat orang  pada tasawuf.

Semua  ini  begitu  menyolok  menggejala  di Turki atau bahkan telah menjadi corak keberagamaan mereka. Satu hal yang  mereka tidak  miliki,  dibanding  Indonesia,  ialah rasa ‘persaingan’ dengan agama lain di dalam negeri  sendiri.  Lebih  dari  itu, baru  akhir-akhir  ini  saja  mulai  muncul generasi baru yang merepresentasikan    generasi    Islam     pasca-Ottoman    dan pasca-Kemalis,   yaitu   generasi  yang  tetap   konsisten  dan memiliki wawasan keislaman dan sekaligus  juga  wawasan  sikap kemodernan  sebagaimana  yang  dilihat  Gokalp ataupun Ataturk pada masyarakat Barat.

PENUTUP

Dari  eksperimen  sejarah  yang  dilakukan   Turki,    hasilnya memperkuat  teori  yang  mengatakan  bahwa  konsep sekularisme Barat tidak akan tumbuh ketika ditabur atau  diterapkan  dalam masyarakat  muslim. Kedua, semakin modern dan semakin rasional seseorang  atau   masyarakat,   keislaman   mereka    cenderung terefleksikan   dalam  etika  pribadi  dan  sosial,   sedangkan hubungannya dengan Tuhan cenderung pada  pendekatan  sufistik. Ketiga,   meskipun  pada  level  praksis  dan  ideologi   Islam senantiasa    dipengaruhi    oleh    tradisi     lokal    serta kepentingan-kepentingan  subyektif, secara epistemologis Islam tetap memiliki  vitalitas  yang  bersifat  rasional,  sehingga dengan demikian modernisasi tidak akan menjadikan ancaman bagi Islam.

--------------------------------------------

CATATAN

1. Taylor, Paul W., Problems of Moral Philosophy. California: Deckenson Publishing Compant Inc., p. 3
   
2. Hourani, George F., Reason and Traditon in Islamic   Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, p. 25
   
3. Ayat al-Qur’an berulangkali menuntut pembacanya agar   berjihad dengan menggunakan akalnya untuk menangkap   pesan-pesan etis yang terkandung di dalamnya. Oleh    karenanya adalah hal yang logis saja bahwa dalam sejarah   Islam selalu terjadi perbedaan dan konflik intelektual yang dinamis antara sesama ahli pikir.
   
4. Lihat Erns Cassirer, An Essay on Man, Yale University    Press,
   
5. Weiner, Myron., Modernisasi, Dinamika Pertumbuhan, Gajah Mada University Press, 1980, p. xii
   
6. Lihat karya-karya Immanuel Kant, terutama Critique  Pure Reason dan Religion within the Limit of Reason Alone.
   
7. Peretz, Don, The Middle East Today, New York, 1986,   p. 59
   
8. Ibid, loc. cit.
   
9. Ibid, p. fi2
   
10. Ke-6 sila dalam ideologi Kemalisme ialah: republikanisme, nasionalisme, populisame, sekularisme, etistisme, revolusionisme. semua sila di atas secara konotatif merupakan kritik frontal terhadap ideologi Ottomanisme.

11. Lihat Ergun Ozbodun (ed)., Ataturk, Founder of Modern State, London, 1981. Juga dalam Modern Turkey: Continuity and Change, Opladen, 1984
   
12. Bernard Lewis, The Emergence of Modern Turkey, London, 1967, p. 482

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174