PERNIKAHAN                                              
Oleh Dr. Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah”  sebagai
(1)  perjanjian  antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
istri (dengan resmi);  (2)  perkawinan.  Al-Quran  menggunakan
kata  ini  untuk  makna  tersebut,  di  samping  secara majazi
diartikannya dengan “hubungan seks”. Kata ini  dalam  berbagai
bentuknya  ditemukan  sebanyak  23  kali.  Secara  bahasa pada
mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”.

Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja  dan  kata  zauwj   yang
berarti  “pasangan” untuk makna di atas. Ini karena pernikahan
menjadikan seseorang memiliki pasangan.  Kata  tersebut  dalam
berbagai  bentuk  dan  maknanya  terulang tidak kurang dari 80
kali.

Secara umum Al-Quran hanya  menggunakan  dua  kata  ini  untuk
menggambarkan  terjalinnya  hubungan  suami  istri secara sah.
Memang  ada  juga  kata  wahabat  (yang    berarti   “memberi”)
digunakan  oleh  Al-Quran  untuk melukiskan kedatangan seorang
wanita  kepada  Nabi  Saw.,  dan  menyerahkan  dirinya    untuk
dijadikan  istri.  Tetapi  agaknya kata ini hanya berlaku bagi
Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).

Kata-kata  ini,  mempunyai  implikasi  hukum  dalam   kaitannya
dengan  ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan
dijelaskan kemudian.

Pernikahan, atau tepatnya “keberpasangan” merupakan  ketetapan
Ilahi   atas   segala   makhluk.  Berulang-ulang   hakikat  ini
ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:

    Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar
    kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]:
    49).
   
    Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan,
    baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dan jenis mereka
    (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak
    mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).

BERPASANGAN ADALAH FITRAH

Mendambakan pasangan  merupakan  fitrah  sebelum  dewasa,  dan
dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu,
agama  mensyariatkan  dijalinnya  pertemuan  antara  pria   dan
wanita,   dan  kemudian  mengarahkan  pertemuan  itu   sehingga
terlaksananya “perkawinan”, dan beralihlah kerisauan pria  dan
wanita   menjadi   ketenteraman  atau  sakinah  dalam   istilah
Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21.  Sakinah  terambil  dari  akar
kata   sakana  yang  berarti  diam/tenangnya  sesuatu   setelah
bergejolak.  Itulah  sebabnya  mengapa  pisau  dinamai   sikkin
karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih
tenang, tidak bergerak, setelah tadinya  ia  meronta.  Sakinah
--karena  perkawinan--  adalah  ketenangan  yang  dinamis   dan
aktif, tidak seperti kematian binatang.

Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan  perlunya
kesiapan  fisik,  mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah.
Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di
bidang  ekonomi sebagai alasan menolak peminang: “Kalau mereka
(calon-calon  menantu)  miskin,  maka  Allah  akan   menjadikan
mereka  kaya  (berkecukupan)  berkat  anugerah-Nya” (QS An-Nur
[24]: 31). Yang tidak memiliki  kemampuan  ekonomi  dianjurkan
untuk  menahan  diri  dan  memelihara  kesuciannya  “Hendaklah
mereka yang belum mampu (kawin)  menahan  diri,  hingga  Allah
menganugerahkan mereka kemampuan” (QS An-Nur [24]: 33)

Di  sisi  lain  perlu  juga  dicatat,  bahwa walaupun Al-Quran
menegaskan bahwa berpasangan atau  kawin  merupakan  ketetapan
Ilahi  bagi  makhluk-Nya,  dan walaupun Rasul menegaskan bahwa
“nikah adalah sunnahnya”, tetapi dalam saat yang sama Al-Quran
dan   Sunnah   menetapkan   ketentuan-ketentuan    yang   harus
diindahkan --lebih-lebih  karena  masyarakat  yang  ditemuinya
melakukan  praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar
nilai-nilai  kemanusiaan,  seperti  misalnya  mewarisi  secara
paksa  istri  mendiang  ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa’ [4]: 19).
Bahkan menurut Al-Qurthubi  ketika  larangan  di  atas  turun,
masih  ada  yang  mengawini  mereka  atas dasar suka sama suka
sampai dengan turunnya surat  Al-Nisa’  [4]:  22  yang   secara
tegas menyatakan.

    Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah
    dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah 1a1u
    (dimaafkan oleh Allah).

Imam  Bukhari  meriwayatkan  melalui istri Nabi, Aisyah, bahwa
pada masa Jahiliah, dikenal empat macam  pernikahan.  Pertama,
pernikahan  sebagaimana  berlaku kini, dimulai dengan pinangan
kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua,
adalah   seorang  suami  yang  memerintahkan  kepada   istrinya
apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan  seks)
dengan  seseorang,  dan  bila  ia telah hamil, maka ia kembali
untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat  keturunan
yang  baik.  Ketiga,  sekelompok  lelaki  kurang  dari sepuluh
orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia  hamil
kemudian  melahirkan,  ia  memanggil  seluruh anggota kelompok
tersebut --tidak dapat  absen--  kemudian  ia  menunjuk  salah
seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan
kepadanya nama anak itu, dan  yang  bersangkutan  tidak  boleh
mengelak.  Keempat,  hubungan  seks yang dilakukan oleh wanita
tunasusila, yang memasang bendera atau  tanda  di  pintu-pintu
kediaman  mereka  dan  “bercampur”  dengan siapa pun yang suka
kepadanya. Kemudian  Islam  datang  melarang  cara  perkawinan
tersebut kecuali cara yang pertama.

SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI?

Al-Quran tidak menentukan  secara  rinci  tentang  siapa  yang
dikawini,   tetapi   hal  tersebut  diserahkan  kepada   selera
masing-masing:

    Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari
    wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)

Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. menyatakan,

    Biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau
    keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya.
    Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau
    tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu
    Hurairah).

Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa

    Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini
    melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
    musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas
    dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
    1aki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,

    Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
    keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita
    yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk
    laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah
    untuk wanita-wanita yang baik (pu1a).

Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini  seorang
laki-laki.

    Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu,
    anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
    perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
    saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
    perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
    anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
    perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara
    perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua),
    anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
    yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
    dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
    tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga
    bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
    menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
    bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
    lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
    Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita
    yang bersuami (QS Al-Nisa’ [4]: 23-24).

Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu
yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu --yang  disebut
di  atas--  juga  diharamkan?  Di  sini berbagai jawaban dapat
dikemukakan.

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan  antara  keluarga  dekat,
dapat  melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada
juga  yang  meninjau  dari  segi  keharusan  menjaga   hubungan
kekerabatan   agar   tidak   menimbulkan    perselisihan   atau
perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar  suami  istri.
Ada  lagi  yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas,
berkedudukan semacam anak,  saudara,  dan  ibu  kandung,  yang
kesemuanya  harus  dilindungi  dari rasa berahi. Ada lagi yang
memahami larangan  perkawinan  antara  kerabat  sebagai  upaya
Al-Quran  memperluas  hubungan antarkeluarga lain dalam rangka
mengukuhkan satu masyarakat.

PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA

Al-Quran juga secara tegas melarang  perkawinan  dengan  orang
musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):

    Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
    sebelum mereka beriman.

Larangan  serupa  juga  ditujukan  kepada para wali agar tidak
menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam  perwaliannya
kepada laki-laki musyrik.

    Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
    (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman
    (QS A1-Baqarah [2]: 221).

Menurut  sementara  ulama  walaupun  ada ayat yang membolehkan
perkawinan pria Muslim dengan wanita  Ahl  Al-Kitab  (penganut
agama  Yahudi  dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang
menyatakan,

    Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini)
    wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang
    beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara
    orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS
    Al-Ma-idah [5]: 5).

Tetapi izin tersebut telah digugurkan  oleh  surat  Al-Baqarah
ayat  221  di  atas.  Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan
mengatakan:

    “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan
    kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya
    adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah.”

Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas  sahabat  Nabi  dan
ulama.   Mereka   tetap   berpegang   kepada   teks  ayat  yang
membolehkan  perkawinan  semacam  itu,  dan  menyatakan   bahwa
walaupun  aqidah  Ketuhanan  ajaran  Yahudi  dan Kristen tidak
sepenuhnya sama dengan aqidah  Islam,  tetapi  Al-Quran  tidak
menamai  mereka  yang  menganut  Kristen  dan  Yahudi   sebagai
orang-orang musyrik.  Firman  Allah  dalam  surat  A1-Bayyinah
(98): 1 dijadikan salah satu alasannya.

    Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan
    Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan
    meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka
    bukti yang nyata (QS. Al-Bayyinah [98]: 1).

Ayat  ini  menjadikan  orang  kafir terbagi dalam dua kelompok
berbeda, yaitu Ahl Al-Kitab dan  Al-Musyrikin.  Perbedaan  ini
dipahami  dari  kata  “wa” yang diterjemahkan “dan”, yang oleh
pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung  makna  “menghimpun
dua hal yang berbeda.”

Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim
--termasuk pria Ahl  Al-Kitab--  diisyaratkan  oleh  Al-Quran.
Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah (2): 221 di
atas, yang hanya berbicara tentang  bolehnya  perkawinan  pria
Muslim  dengan  wanita  Ahl  Al-Kitab,  dan  sedikit pun tidak
menyinggung  sebaliknya.   Sehingga,   seandainya    pernikahan
semacam   itu   dibolehkan,  maka  pasti  ayat   tersebut  akan
menegaskannya.

Larangan perkawinan  antar  pemeluk  agama  yang  berbeda   itu
agaknya  dilatarbelakangi  oleh  harapan akan lahirnya sakinah
dalam keluarga. Perkawinan baru  akan  langgeng  dan  tenteram
jika  terdapat  kesesuaian  pandangan  hidup  antar  suami dan
istri, karena jangankan  perbedaan  agama,  perbedaan  budaya,
atau  bahkan  perbedaan  tingkat  pendidikan  antara suami dan
istri pun tidak  jarang  mengakibatkan  kegagalan  perkawinan.
Memang  ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan
perempuan Utul-Kitab  (Ahl  Al-Kitab),  tetapi  kebolehan  itu
bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika
itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s.
adalah  Nabi  Allah  pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang
biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam--  dapat
mentoleransi  dan  mempersilakan  Ahl  Al-Kitab  menganut   dan
melaksanakan syariat agamanya,

    Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun
    [109]: 6).

Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak  mengakui  Muhammad
Saw. sebagai nabi.

Di  sisi  lain  harus  pula  dicatat  bahwa  para   ulama  yang
membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl  Al-Kitab,  juga
berbeda  pendapat  tentang  makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini,
serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis
cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga
kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen,  namun
yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu,
adalah yang diungkapkan dalam redaksi  ayat  tersebut  sebagai
“wal muhshanat minal ladzina utul kitab”. Kata al-muhshnnat di
sini  berarti  wanita-wanita  terhormat  yang  selalu   menjaga
kesuciannya,  dan  yang  sangat  menghormati  dan mengagungkan
Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari  penggunaan  kata
utuw   yang   selalu   digunakan  Al-Quran  untuk   menjelaskan
pemberian yang agung lagi terhormat.  [1]  Itu  sebabnya  ayat
tersebut  tidak  menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana
dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran
Yahudi dan Kristen.

Pada  akhirnya  betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh
tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl  Al-Kitab,
namun  seperti  tulis  Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.
[2]

    Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan
    kaidah syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami
    memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri,
    serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap
    keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami
    Muslim --berdasarkan hak kepemimpinan yang
    disandangnya-- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya
    dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini
    non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu
    membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga
    terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya
    terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik
    yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat
    lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam
    secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari
    dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan
    beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak
    kurang sebaik istri.

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan  bahwa  kalau  apa  yang
dilukiskan   di  atas  tidak  terpenuhi  --sebagaimana   sering
terjadi pada  masa  kini--  maka  ulama  sepakat  untuk   tidak
membenarkan  perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya
membolehkan.Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin  dengan  non-Muslim
karena  kekhawatiran  akan  terpengaruh  atau  berada di bawah
kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka  demikian  pula
sebaliknya.  Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl
Al-Kitab harus pula tidak  dibenarkan  jika  dikhawatirkan  ia
atau  anak-anaknya  akan  terpengaruh  oleh  nilai-nilai   yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

POLIGAMI DAN MONOGAMI

Al-Quran surat Al-Nisa’ [4]: 3 menyatakan,

    Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
    perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
    maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
    dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak
    dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat
    lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka
    kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu
    miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
    berbuat aniaya.

Atas dasar ayat inilah sehingga Nabi Saw. melarang  menghimpun
dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang
pria. Ketika turunnya ayat  ini,  beliau  memerintahkan  semua
yang  memiliki  lebih  dari  empat  orang  istri,  agar segera
menceraikan istri-istrinya  sehingga  maksimal,  setiap  orang
hanya   memperistrikan   empat   orang   wanita.   Imam  Malik,
An-Nasa’i, dan  Ad-Daraquthni  meriwayatkan  bahwa  Nabi   Saw.
bersabda  kepada  Sailan bin Umayyah, yang ketika itu memiliki
sepuluh orang istri.

    Pilihlah dari mereka empat oranq (istri) dan ceraikan
    selebihnya.

Di sisi  1ain  ayat  ini  pula  yang  menjadi  dasar   bolehnya
poligami. Sayang ayat ini sering disalahpahami. Ayat ini turun
--sebagaimana  diuraikan  oleh  istri   Nabi   Aisyah    r.a.--
menyangkut   sikap   sementara   orang  yang   ingin  mengawini
anak-anak yatim  yang  kaya  lagi  cantik,  dan  berada   dalam
pemeliharaannya,  tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang
sesuai serta tidak rnemperlakukannya  secara  adil.  Ayat  ini
melarang  hal tersebut dengan satu susunan kalimat yang sangat
tegas. Penyebutan  “dua,  tiga  atau  empat”  pada   hakikatnya
adalah  dalam  rangka  tuntutan  berlaku  adil  kepada mereka.
Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang  yang  melarang
orang  1ain  memakan  makanan  tertentu,  dan untuk menguatkan
larangan itu dikatakannya, “Jika Anda khawatir akan sakit bila
makan  makanan  ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang
ada di hadapan Anda selama Anda tidak khawatir  sakit”.  Tentu
saja  perintah  menghabiskan  makanan  yang lain hanya sekadar
untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.

Perlu juga digarisbawahi bahwa ayat ini,  tidak  membuat  satu
peraturan  tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan
dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini.
Ayat  ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya,
dia hanya berbicara tentang bolehnya  poligami,  dan  itu  pun
merupakan  pintu  darurat  kecil, yang hanya dilalui saat amat
diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.

Jika demikian halnya, maka pembahasan tentang  poligami  dalam
syariat  Al-Quran,  hendaknya  tidak  ditinjau dari segi ideal
atau baik  dan  buruknya,  tetapi  harus  dilihat  dari   sudut
pandang  pengaturan  hukum,  dalam  aneka kondisi yang mungkin
terjadi.

Adalah  wajar  bagi  satu  perundangan  --apalagi  agama   yang
bersifat  universal  dan  berlaku  setiap  waktu dan kondisi--
untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang  boleh  jadi  terjadi
pada  satu  ketika,  walaupun  kejadian  itu  hanya   merupakan
“kemungkinan”.

Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri, atau terjangkiti
penyakit  parah,  merupakan  satu kemungkinan yang tidak aneh?
Apakah jalan keluar bagi seorang suami  yang  dapat  diusulkan


untuk  menghadapi  kemungkinan  ini?  Bagaimana ia menyalurkan
kebutuhan biologis atau memperoleh dambaannya  untuk  memiliki
anak?  Poligami  ketika  itu  adalah  jalan yang paling ideal.
Tetapi sekali lagi  harus  diingat  bahwa  ini  bukan   berarti
anjuran,    apalagi    kewajiban.    Itu    diserahkan   kepada
masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Quran hanya  memberi
wadah   bagi   mereka   yang   menginginkannya.   Masih  banyak
kondisi-kondisi selain yang disebut ini, yang  juga  merupakan
alasan   logis  untuk  tidak  menutup  pintu  poligami   dengan
syaratsyarat yang tidak ringan itu.

Perlu juga dijelaskan bahwa  keadilan  yang  disyaratkan  oleh
ayat  yang  membolehkan  poligami  itu,  adalah keadilan dalam
bidang material.  Surat  Al-Nisa’  [4]:  129  menegaskan   juga
bahwa,

    Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
    antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin
    berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
    cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
    biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
    mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
    kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
    lagi Maha Penyayang.

Keadilan  yang  dimaksud  oleh  ayat  ini,  adalah keadilan di
bidang imaterial (cinta). Itu sebabnya hati  yang  berpoligami
dilarang   memperturutkan   hatinya   dan  berkelebihan   dalam
kecenderungan kepada yang dicintai. Dengan  demikian  tidaklah
tepat  menjadikan  ayat  ini sebagai dalih untuk menutup pintu
poligami serapat-rapatnya.

SYARAT SAH PERNIKAHAN

Untuk sahnya pernikahan, para ulama  telah  merumuskan  sekian
banyak   rukun  dan  atau  syarat,  yang  mereka   pahami  dari
ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Saw.

Adanya calon suami dan istri, wali,  dua  orang  saksi,  mahar
serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat
yang rinciannya  dapat  berbeda  antara  seorang  ulama/mazhab
dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.

Calon   istri  haruslah  seorang  yang  tidak  sedang   terikat
pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam  keadaan  ‘iddah
(masa  menunggu)  baik  karena  wafat  suaminya, atau dicerai,
hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang  terlarang
dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.

Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari
pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan  izinnya  oleh
banyak ulama berdasar sabda Nabi Saw.

    Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali.

Al-Quran   mengisyaratkan   hal  ini  dengan   firman-Nya  yang
ditujukan kepada para wali:

    ... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka
    (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan
    baka1 suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka
    dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 232).

Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi’i dan Imam  Maliki,
“Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan
ayat di atas tidak ada artinya,” dan karena itu pula  terhadap
para wali ditujukan firman Allah.

    Janganlah kamu menikahkan (mengawinkan) orang-orang
    musyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum mereka
    beriman (QS Al-Baqarah [2]: 221).

Sedang ketika Al-Quran berbicara kepada kaum pria nyatakannya,

    Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum
    mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
    lebih baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik
    hatimu (QS AlBaqarah [2]: 221).

Ada  juga  ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan
1ain-lain  yang  berpendapat  bahwa  apabila  seorang    wanita
menikah  tanpa  wali  maka  nikahnya sah, selama pasangan yang
dikawininya sekufu’ (setara) dengannya. Mereka  yang  menganut
paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:

    Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang
    suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai
    para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
    mereka menurut yang patut (QS Al-Baqarah [2): 234).

Ayat  di  atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak
wanita bebas melakukan apa  saja  yang  baik  --bukan  sekadar
berhias,   bepergian,  atau  menerima  pinangan--   sebagaimana
pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi  termasuk  juga
menikahkan  diri  mereka  tanpa  wali.  Di  samping   itu, kata
penganut paham ini, Al-Quran juga --dan bukan  hanya  sekali--
menisbahkan   aktivitas  menikah  bagi  para  wanita,   seperti
misalnya firman-Nya,

    Sampai dia menikah dengan suami yang la~n (QS
    Al-Baqarah [2]: 230).

Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat  di  atas  yang  dijadikan
alasan  oleh  mereka  yang  tidak  mensyaratkan  adanya   wali,
berbicara  tentang  para  janda,  sehingga  kalaupun   pendapat
mereka  dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada
para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini  dapat  merupakan
jalan  tengah  antara kedua pendapat yang bertolak belakang di
atas.

Hemat penulis adalah amat bijaksana untuk  tetap  menghadirkan
wali,  baik  bagi  gadis  maupun janda. Hal tersebut merupakan
sesuatu yang amat penting karena “seandainya  terjadi  hal-hal
yang tidak diinginkan”, maka ada sandaran yang dapat dijadikan
rujukan.  Ini  sejalan  dengan  jiwa  perintah  Al-Quran   yang
menyatakan,   “Nikahilah  mereka  atas  izin  keluarga   (tuan)
mereka.” (QS  Al-Nisa’  [4]:  25).  Walaupun  ayat   ini  turun
berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dikawini.

Hal  kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang
sah  adalah  saksi-saksi.  Penulis  tidak  menemukan  hal   ini
disinggung  secara  tegas  oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak
hadis menyinggungnya.  Kalangan  ulama  pun  berbeda  pendapat
menyangkut  kedudukan  hukum  para  saksi.  Imam  Abu Hanifah,
Syafi’i,   dan   Maliki   mensyaratkan    adanya    saksi-saksi
pernikahan,  hanya  mereka  berbeda  pendapat apakah kesaksian
tersebut  merupakan  syarat   kesempurnaan   pernikahan    yang
dituntut.    Sebelum    pasangan   suami    istri   “bercampur”
(berhubungan  seks)  atau  syarat  sahnya   pernikahan,    yang
dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.

Betapapun  perbedaan  itu,  namun  para ulama sepakat melarang
pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi  untuk
menyebarluaskan berita pernikahan. Bagaimana kalau saksi-saksi
itu diminta untuk merahasiakan pernikahan  itu?  Imam  Syafi’i
dan  Abu  Hanifah  menilainya  sah-sah saja, sedang Imam Malik
menilai bahwa  syarat  yang  demikian  membatalkan  pernikahan
{fasakh).  Perbedaan  pendapat  ini lahir dari analisis mereka
tentang fungsi para saksi,  apakah  fungsi  mereka  keagamaan,
atau  semata-mata  tujuannya  untuk menutup kemungkinan adanya
perselisihan pendapat. Demikian penjelasan  Ibnu  Rusyd  dalam
bukunya Bidayat Al-Mujtahid.

Dalam   konteks  ini  terlihat  betapa  pentingnya   pencatatan
pernikahan yang ditetapkan  melalui  undang-undang,  namun  di
sisi  lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang
saksi-tetap dinilai sah oleh agama.  Bahkan  seandainya  kedua
saksi   itu   diminta   untuk   merahasiakan   pernikahan  yang
disaksikannya itu, maka pernikahan  tetap  dinilai  sah  dalam
pandangan pakar hukum Islam Syafi’i dan Abu Hanifah.

Namun   demikian,   menurut   hemat   penulis,   dalam  konteks
keindonesiaan,  walaupun  pernikahan  demikian   dinilai    sah
menurut  hukum  agama,  namun perkawinan di bawah tangan dapat
mengakibatkan dosa  bagi  pelaku-pelakunya,  karena  melanggar
ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri).
Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati  Ulil  Amri
selama  tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal
pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan,  tetapi
justru sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.

Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.

Secara  tegas  Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk
membayar mahar.

    Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang
    kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelann (QS
    A1-Nisa’ [4]: 4).

Suami berkewajiban menyerahkan mahar  atau  mas  kawin  kepada
calon istrinya.

Mas  kawin  adalah  lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk
memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama
mas  kawin  itu  bersifat  lambang,  maka sedikit pun jadilah.
Bahkan:

    Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya.

Begitu sabda Nabi Saw., walaupun Al-Quran tidak melarang untuk
memberi  sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa’ [4]: 20). Ini
karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan  harga
seorang  wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil
kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.

    “Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya
    kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
    menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan
    mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau
    istri) te1ah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan
    sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para
    istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat
    kokoh (QS Al-Nisa’ [4]: 20-2l).

Agama menganjurkan  agar  mas  kawin  merupakan  sesuatu   yang
bersifat  materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya
dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan  sampai  ia  memiliki
kemampuan.  Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga
kawin, maka cincin besi pun jadilah.

    Carilah walau cincin dari besi.

Begitu sabda Nabi Saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya  sedang
perkawinan  tidak  dapat  ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya
boleh berupa mengajarkan beberapa  ayat  Al-puran.  Rasulullah
pernah bersabda,

    Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang
    engkau miliki dari Al-Quran. (Diriwayatkan oleh Bukhari
    dan Muslim melalui Sahal bin Sa’ad).

Adapun  ijab  dan  kabul  pernikahan,  maka ia pada hakikatnya
adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon
suami   untuk  hidup  bersama  seia  sekata,  guna   mewujudkan
keluarga sakinah, dengan  melaksanakan  segala  tuntunan  dari
kewajiban.  Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat
berarti: atau paling tidak “mewujudkan suatu kewajiban”  yakni
berusaha  sekuat  kemampuan  untuk membangun satu rumah tangga
sakinah. Penyerahan disambut dengan  qabul  (penerimaan)  dari
Untuk  menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan
Imam Syafi’i tidak  sah  kecuali  jika  menggunakan  apa   yang
diistilahkan oleh Nabi Saw. dengan Kalimat Allah, yaitu dengan
sabdanya:

    “Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat
    Allah.”

Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua  lafaz  (kata)  nikah
dan   zawaj   (kawin)  yang  digunakan  Al-Quran.   Imam  Malik
membolehkanjuga kata “memberi” sebagai  terjemahan  dari  kata
wahabat  sebagaimana  disinggung pada pendahuluan. Ulama-ulama
ini tidak menilai sah lafaz ijab  dan  kabul  yang  mengandung
“kepemilikan”,   “penganugerahan”,   dan    sebagainya,  karena
kata-kata tersebut tidak digunakan  Al-Quran  sekaligus  tidak
mencerminkan  hakikat  hubungan  suami  istri yang dikehendaki
oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah  hubungan  kepemilikan
satu  pihak  atas  pihak  lain,  bukan  juga   penyerahan  diri
seseorang kepada suami, karena  itu  sungguh  tepat  pandangan
yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan
dalam  akad  pernikahan.  Hubungan  tersebut  adalah   hubungan
kemitraan  yang  diisyaratkan  oleh  kata  zauwj  yang berarti
pasangan.  Suami  adalah   pasangan   istri,    demikian   pula
sebaliknya.  Kata  ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum
lengkap, istri pun demikian. Persis seperti  rel  kereta  api,
bila  hanya  satu  re1  saja  kereta  tak dapat berjalan, atau
katakanlah bagaikan sepasang anting  di  telinga,  bila  hanya
sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.

Mengawinkan  pria  dan  wanita adalah menghimpunnya dalam satu
wadah  perkawinan,  sehingga   wajar   jika    upaya   tersebut
dilukiskan  oleh  Al-Quran  dengan  menggunakan kata “menikah”
yang  pengertian  kebahasaannya   seperti   dikemukakan    pada
pendahuluan adalah “menghimpun”.

Bahwa  Al-Quran  menggunakan  kata  wahabat khusus kepada Nabi
Saw. adalah merupakan satu hal yang wajar,  karena  siapa  pun
dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan
Nabi Saw.

    Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna)
    sampai patuh keinginan hati kalian terhadap apa yang
    kusampaikan.

Demikian sabda Nabi  Saw.  Dalam  kesempatan  yang  lain   Nabi
bersabda:

    Salah seorang di antara kamu tidak beriman, sehingga
    dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang
    tuanya, anaknya dan seluruh manusia (Diriwayatkan oleh
    Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik).

Makna ini sejalan dengan firman Allah,

Nabi (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari pada
diri mereka sendiri (QS Al-Ahzab [33]: 6).

Itulah Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat  itu
sendiri menurut Al-Quran:

    Te1ah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan
    tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya (QS
    Al-An’am [6]: 115).
   
“Dia  penuh  kebajikan”  (QS  Al-A’raf [7]:  137),   lagi  “Dan
kalimat  Allah itulah yang Mahatinggi” (QS Al-Tawbah [9): 40).
Dengan  kalimat  itulah  Allah  menganugerahkan  kepada    Nabi
Zakaria  yang  telah  berusia  lanjut,  lagi  istrinya mandul,
“seorang anak  bernama  Yahya  yang  menjadi  panutan,   pandai
menjaga  diri,  serta  menjadi  Nabi” (QS Ali ‘Imran [3]: 39).
Dengan kalimat itu Allah menciptakan Isa a.s. tanpa ayah,  dan
diakuinya  sebagai “seorang terkemuka di dunia dan di akherat,
serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada  Allah”  (QS
Ali ‘Imran [3]: 45).

Serah terima perkawinan dilakukan dengan  kalimat  Allah  yang
sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa
suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam  saat  yang
sama  mereka  berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga
mereka  dinaungi  oleh  makna-makna  kalimat  itu:   kebenaran,
keadilan,  langgeng  tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan
dikaruniai anak  yang  saleh,  yang  menjadi  panutan,   pandai
menahan  diri,  serta  menjadi orang terkemuka di dunia dan di
akhirat lagi dekat kepada Allah.

TALI-TEMALI PEREKAT PERNIKAHAN

Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah  tali  temali
ruhani  perekat  perkawinan,  sehingga  kalau  cinta pupus dan
mawaddah putus, masih ada rahmat,  dan  kalau  pun  ini  tidak
tersisa,  masih  ada amanah, dan selama pasangan itu beragama,
amanahnya terpelihara, karena Al-Quran memerintahkan,

    Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu
    tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan
    tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak
    menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (di
    balik itu) kebaikan yang banyak (QS Al-Nisa’ [4]: l9).

Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf  m-w-d-d-,  yang  maknanya
berkisar  pada  kelapangan  dan  kekosongan.  Mawaddah   adalah
kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak  buruk.  Dia
adalah  cinta  plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya
kesal  sehingga  cintanya  pudar  bahkan  putus.  Tetapi   yang
bersemai  dalam  hati  mawaddah,  tidak  lagi  akan memutuskan
hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang  bercinta.
Ini  disebabkan  karena  hatinya begitu lapang dan kosong dari
keburukan sehingga pintu-pintunya  pun  telah  tertutup  untuk
dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari
pasangannya). Begitu  lebih  kurang  komentar  pakar  Al-Quran
Ibrahim  Al-Biqa’i  (1480  M)  ketika  menafsirkan   ayat  yang
berbicara tentang mawaddah.

Rahmah adalah kondisi psikologis yang  muncul  di  dalam  hati
akibat  menyaksikan  ketidakberdayaan  sehingga mendorong yang
bersangkutan  untuk   memberdayakannya.   Karena   itu    dalam
kehidupan   keluarga,   masing-masing  suami  dan   istri  akan
bersungguh-sungguh bahkan  bersusah  payah  demi  mendatangkan
kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu
dan mengeruhkannya.

Al-Quran  menggarisbawahi  hal  ini   dalam   rangka    jalinan
perkawinan  karena  betapapun  hebatnya  seseorang,  ia   pasti
memiliki kelemahan, dan betapapun  lemahnya  seseorang,  pasti
ada  juga  unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari
keadaan demikian, sehingga  suami  dan  istri  harus  berusaha
untuk saling melengkapi.

    Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk
    kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka (QS
    Al-Baqarah [2]: 187).

Ayat  ini  tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling
membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi
juga  berarti  bahwa suami istri --orang masing-masing menurut
kodratnya memiliki kekurangan-- harus dapat berfungsi “menutup
kekurangan  pasangannya”.  sebagaimana  pakaian  menutup aurat
(kekurangan) pemakainya.

Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul Saw.  dalam
sabdanya,

    Kalian menerima istri berdasar amanah Allah.

Amanah  adalah  sesuatu  yang  diserahkan  kepada  pihak   lain
disertai   dengan   rasa   aman   dari     pemberinya    karena
kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara
dengan baik, serta keberadaannya aman di  tangan  yang  diberi
amanat itu.

Istri  adalah  amanah  di  pelukan  suami, suami pun amanat di
pangkuan  istri.  Tidak  mungkin  orang   tua    dan   keluarga
masing-masing  akan  merestui  perkawinan  tanpa  adanya   rasa
percaya dan aman itu. Suami --demikian juga istri-- tidak akan
menjalin   hubungan  tanpa  merasa  aman  dan  percaya   kepada
pasangannya.

Kesediasn seorang istri untuk  hidup  bersama  dengan  seorang
lelaki,    meninggalkan    orang-tua    dan     keluarga   yang
membesarkannya,  dan  “mengganti”  semua  itu    dengan   penuh
kerelaan  untuk  hidup  bersama  lelaki  “asing”   yang menjadi
suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.
Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia
merasa yakin bahwa kebahagiannnya  bersama  suami  akan  lebih
besar  dibanding  dengan  kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan
pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan
saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan
istri  kepada  suaminya  dan  itulah  yang  dinamai    Al-Quran
mitsaqan  ghalizha  (perjanjian  yang amat kokoh) (QS Al-Nisa’
[4): 21).

SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA

Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari  keluarga  adalah
suami  dan  istri,  atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di
bawah satu rumah tangga. Unit  ini  memerlukan  pimpinan,  dan
dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak.

    Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan
    (istri) (QS Al-Nisa’ [4]: 34).

Ada   dua  alasan  yang  dikemukakan  lanjutan  ayat   di  atas
berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu:

a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas
   sebagian yang lain, dan

b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk
   menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk
   istri/keluarganya).

Alasan kedua agaknya cukup logis.  Bukankah  di  balik  setiap
kewajiban   ada   hak?   Bukankah   yang   membayar  memperoleh
fasilitas?

Adapun alasan pertama, maka ini berkaitan dengan faktor psikis
lelaki  dan  perempuan.  Sementara  psikolog berpendapat bahwa
perempuan berjalan di bawah bimbingan perasaan, sedang  lelaki
di  bawah  pertimbangan  akal.  Walaupun kita sering mengamati
bahwa  perempuan  bukan  saja  menyamai   lelaki    da1am   hal
kecerdasan,  bahkan  terkadang melebihinya. Keistimewaan utama
wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Keistimewaan
ini amat diperlukan dalam memelihara anak. Sedang keistimewaan
utama  lelaki  adalah  konsistensinya  serta  kecenderungannya
berpikir   secara  praktis.  Keistimewaan  ini  menjadikan   ia
diserahi tugas kepemimpinan rumah tangga.

    Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan
    kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi para
    suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka
    (para istri)”. (QS A1-Baqarah [2]: 228).

Derajat itu adalah kelapangan  dada  suami  terhadap  istrinya
untuk  meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis
Syaikh  Al-Mufasirin   (Guru   besar   para    penafsir)   Imam
Ath-Thabari,  “Walau  ayat  ini  disusun dalam redaksi berita,
tetapi  maksudnya  adalah  anjuran  bagi  para   suami    untuk
memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat
memperoleh derajat itu.”

Imam  Al-Ghazali  menulis,  “Ketahuilah  bahwa  yang   dimaksud
dengan   perlakuan   baik   terhadap   istri,   bukanlah  tidak
mengganggunya,  tetapi  bersabar  dalam  kesalahannya,    serta
memperlakukannya   dengan   kelembutan   dan    maaf,  saat  ia
menumpahkan emosi dan kemarahannya.”

“Keberhasilan perkawinan tidak  tercapai  kecuali  jika  kedua
belah  pihak  memperhatikan  hak  pihak  lain.  Tentu saja hal
tersebut banyak,  antara  lain  adalah  bahwa  suami   bagaikan
pemerintah,   dan   dalam   kedudukannya   seperti    itu,  dia
berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya
(istrinya).   Istri   pun  berkewajiban  untuk   mendengar  dan
mengikutinya, tetapi di  sisi  lain  perempuan  mempunyai  hak
terhadap  suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan
diskusi.”  Demikian  lebih  kurang  tulis  Al-Imam   Fakhruddin
Ar-Razi.

Sekali  lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi
sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil.

Kalau titik temu dalam musyawarah  tidak  diperoleh,  sehingga
keretakan  hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar
kamar menghubungi orang-tua atau  orang  yang  dituakan  untuk
meminta  nasihatnya,  atau  bahkan  barulah  diharapkan campur
tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam  konteks  ini
Al-Quran berpesan,

    Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
    keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari
    keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari ke1uarga
    perempuan. Jika keduanya (suami istri dan para hakam)
    ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah memberi
    bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya
    Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa’
    [4]: 35).

TUJUAN PERKAWINAN

Sepintas boleh jadi ada yang berkata, apalagi muda mudi, bahwa
“pemenuhan   kebutuhan   seksual   merupakan    tujuan    utama
perkawinan,   dan   dengan  demikian  fungsi  utamanya   adalah
reproduksi”.

Benarkah    demikian?    Baiklah    terlebih     dahulu    kita
menggarisbawahi  bahwa  dalam  pandangan  ajaran  Islam,   seks
bukanlah sesuatu yang kotor  atau  najis,  tetapi  bersih  dan
harus  selalu  bersih.  Mengapa  kotor,  atau perlu dihindari,
sedang Allah sendiri  yang  memerintahkannya  secara  tersirat
melalui  law  of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam
surat Al-Baqarah (2): 187,

    Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan
    nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
    maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka
    (istri-istrimu), dan carilah apa yang ditetapkan Allah
    untukmu.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

    Istri-istri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam)
    untukmu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu
    bagaimana~ saja kamu kehendaki (QS Al-Baqarah [2]:
    223).

Karena hubungan seks  harus  bersih,  maka  hubungan  tersebut
harus  dimulai  dan  dalam  suasana  suci  bersih; tidak boleh
dilakukan dalam keadaan kotor, atau situasi kekotoran.  Karena
itu,   Rasulullah  Saw.  menganjurkan  agar  berdoa   menjelang
hubungan seks dimulai.

Beberapa ayat Al-Quran sangat menarik untuk direnungkan  dalam
konteks pembicaraan kita ini adalah:

    (Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi
    kamu dan jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dan
    jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula,
    dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan cara itu ...
    Tidak ada sesuatu pun yang serupa denan Dia, dan Dia
    Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al-Syura
    [42]: 11).

Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun
demikian, begitu pesan ayat di atas. Tetapi dalam ayat di atas
tidak  disebutkan  kalimat  mawaddah  dan  rahmah, sebagaimana
ditegaskan  ketika  Al-Quran   berbicara   tetang    pernikahan
manusia.

    Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah
    adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan
    agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari
    (pasangan)-nya, dari dijadikannya di antara kamu
    mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu
    benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang
    berpikir (QS Al-Rum [30]: 21).

Mengapa  demikian?  Tidak  lain  karena  manusia  diberi tugas
oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu manusia diberi tugas
untuk menjadi khalifah di dunia ini.

Cinta  kasih,  mawaddah  dan  rahmah  yang dianugerahkan Allah
kepada sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat
tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya,
tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia.

Demikian sekilas pandangan Al-Quran tentang pernikahan,  tentu
saja  lembaran  kecil  ini tidak menggambarkan secara sempurna
wawasan  Kitab  Suci  itu,  namun  paling   tidak    apa   yang
dikemukakan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran umum.
Semoga.[]

CATATAN KAKI

1 Kata utuw, dalam berbagai bentuknya terulang didalam
  Al-Quran sebanyak 32 kali. Al-Quran menggunakannya
  untuk anugerah yang agung berupa ilmu atau Kitab Suci.

2 Mahmud Syaltut l959: 253.

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038

calon suami.