Oleh : Warsono
Pengantar
Salah satu kelemahan umat Islam, adalah sulitnya untuk bersatu. Antara
Suni-Syiah, Sufi-Salafi, Modernis-tradisional, dan lain sebagainya. Ada banyak
sekali penyebab umat Islam untuk sulit untuk bersatu, mulai dari yang
“substansial” hingga masalah simple saja. Intinya, umat Islam mudah sekali
pecah, sulit untuk kembali bersatu. Ini menjadi kelemahan yang sering dimanfaatkan
oleh pihak lain dalam rangka melemahkan umat Islam. Karenanya upaya membangun
kebersamaan adalah menjadi salah satu agenda penting umat Islam, terutama di
Indonesia .
Menyatukan paham umat Islam, dalam arti alirannya, adalah gagasan yang tidak
masuk akal. Tetapi gagasan untuk menyatukan kekuatan antara kelompok-kelompok
dalam Islam adalah hal yang masih mungkin dicapai, walau tidak mudah. Untuk
kasus Indonesia , NU-Muhamadiyah sebagai faksi terbesar umat Islam di
Indonesia adalah contoh yang baik hubungan antar aliran, meski mungkin masih
bisa ditingkatkan lagi.
Keduanya bisa berhubungan harmonis, tanpa harus melebur, karena memang
keduanya memiliki paham yang berbeda. Banyak bidang dalam amal ibadah yang
bisa dilakukan bersama atau bersinergi oleh kedua eksponen utama umat Islam di
Indonesia. Sikap menghargai, tidak menganggu, menjaga silaturahmi, itu saja,
sudah kekuatan yang luar biasa bagi umat Islam di Indonesia.
Nah, untuk membangun jembatan kebersamaan ini saya mengusulkan tiga buah
gagasan sederhana dan singkat. Semoga berguna…
Teologi Silaturahmi
Saya ingin ikut mendukung, katakanlah "Teologi Silaturahmi". Ini adalah
landasan bersikap terhadap sesama muslim apapun alirannya, apapun aqidahnya.
Sebagaimana pemahaman saya atas ayat Al-Quran:
"Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat." (QS. 49:10)
Saya memimpikan bahwa semua umat Islam bisa menerima dan saling bersilaturahmi
dengan baik, apa pun aliran dan madzhabnya, tanpa banyak syarat-syarat.
Sepanjang dia mengaku muslim, menjadikan Quran sebagai pedamannya, menjujung
tinggi Rasulullah SAW, dia adalah Saudara saya. Meski pahamnya kelihatan aneh
di telinga saya, cara beribadahnya tampak lucu dari kaca mata saya, dia adalah
saudara saya. Yang punya hak untuk saya dengar, saya bantu, saya hargai dan
saya perlakukan selayaknya saudara. Tidak perlu saya banyak curiga,
mencari-cari kesalahan sebagaimana lanjutan ayat yang indah ini:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik
dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan)
wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih
baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
(QS. 49:11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. "(QS. 49:12)
Untuk itu dada kita harus lebar, mempunyai tingkat toleransi atau "range of
tolerance" yang lebar. Manusia itu sangat beragam, memiliki latar belakang,
pengalaman, pendapat, cara berpikir, kecenderungan yang berbeda-beda. Namun
sepanjang mereka muslim, mereka adalah sahabat, saudara dekat saya.
Saintifikasi Islam
Ide ini sepenuhnya mengadopsi ide Alm. Dr. Kuntowijoyo (Beliau adalah salah
satu "guru" saya, dan saya mohon maaf kepada Beliau kalau saya salah
mengartikan dan menafsirkannya). Terinspirasi dari teori Sosiologi A. Comte
kacamata terhadap agama ada 3 tingkatan, pertama mithologi, kedua ideologi,
dan ketiga ilmu/sains.
Kacamata mithologi memandang agama penuh dengan mithos-mithos yang tak
tersentuh dan harus diterima apa adanya. Dalam kacamata ideologi, agama berisi
ide-ide besar untuk pembangunan masyarakat. Hanya biasanya kacamata ideologi
ini memandang dunia secara hitam putih, kawan-lawan, benar-salah, sehingga
sulit menerima agama dari versi paham lain. Dalam kerangka ilmu, maka ide-ide
besar itu dirumuskan dalam tataran keilmuan, yang tersistematis, logis dan
bisa terus dikembangkan atau dikoreksi.
Dalam kerangka keilmuan ini, perbedaan pendapat justru menjadi berkah karena
keilmuan menjadi berkembang dengan pertukaran ide dan pengayaan khasanah
keilmuan. Makin tinggi tingkat pertukaran ide, maka akan
semakin kokoh keilmuwan. Di samping itu, ini yang terpenting, memandang agama
secara keilmuan akan memunculkan toleransi.
Perbedaan pendapat akan dibicarakan secara dingin, logis dan bersahabat. Tidak
menjadikan perbedaan paham betapa pun pertentangannya sebagai musuh, sesat,
dan lain lain.
Jika teologi silaturahmi adalah dalam kerangka bergaul antar sesama umat
Islam, saintifikasi Islam adalah dalam interaksi pikiran, ide sesama umat
Islam dari mazhab apa pun. Dalam kerangka saintifikasi Islam, yang dilihat
adalah argumentasi, gagasan, bukan kecurigaan madzhab apa dia, lawan atau
kawan. Jika diskursus perbedaan pendapat dalam Islam dapat dilaksanakan dalam
kerangka keilmuan, maka kedua pihak bisa saling belajar dari kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Sehingga masing-masing bisa mengambil manfaat.
Demokratisasi dalam ber-Islam
Meski judulnya mentereng maksudnya sederhana yaitu semua kelompok pemahaman
Islam mendapat tempat untuk berbicara, mengemukakan pendapatnya, tanpa
intimidasi, kecaman, apalagi penyerangan fisik. Ini sebenarnya ajaran Islam
yang indah untuk "bermujadalah dengan ahsan/baik".
Sebagai lawan dari demokratisasi Islam, ya totaliterianism Islam, yaitu
memaksakan pemahaman saya kepada orang lain dalam bentuk apa pun, termasuk
makian, cacian, kecaman, bahkan kalau perlu teror, dan intimidasi. Saya kira
pilihan terakhir ini bukan ajaran Islam yang baik.
"... janganlah kamu menjadi orang yang musyrik, yaitu orang yang
menjadikan agama berpecah-belah, dan masing-masing kelompok berbangga-bangga
dengan kelompoknya" (QS 30:31-32)
Sikap demokratis inilah yang memungkinkan, antar kelompok bisa duduk
berdampingan, saling menghargai, bekerja sama sekaligus "berlomba-lomba dalam
kebajikan dan takwa". Orang yang berbeda paham dengan kita betapa pun tidak
kita setujui, telah dan sedang berkarya dan berjuang meninggikan kalimah
Allah. Sudah selayaknya kita ikut mendukungnya sebagai bagian dari saudara
yang berbeda paham. Begitu juga sebaliknya...
Demokratisasi dalam ber-Islam bisa menjadi kerangka kerja sama dalam Islam. Kita bekerja sama dalam hal-hal yang menjadi kesepakatan, dan kita menghormati orang lain berkarya menurut pendapatnya.
Masa depan umat Islam salah satunya ditentukan oleh sikap umat Islam itu sendiri. Maukah kita bersatu, menyatukan langkah, atau membiarkan dan meneruskan sikap berpecah belah.
Wallahu A’lam