Terbelahnya Suni-Syiah : Sebuah Realitas Ambiguitas Islam
Oleh: Warsono
Pengantar
Mencermati diskusi-diskusi di komunitas My Quran (sebuah portal diskusi online),
di antara topik yang paling hangat dan menyedot perhatian adalah diskusi antar
aliran, khususnya Suni-Syiah. Dan lebih khusus lagi, topik ini menjadi sangat
dinamis karena semangatnya teman2 Salafi untuk berusaha menunjukkan "kesesatan"
Syiah, yang baginya sangat jelas. Tapi bagi temen2 Syiah, justru "kepicikan"
temen2 Salafi itu yang sangat nyata.
Sebenarnya perbedaan Suni-Syiah, adalah sejarah yang sangat panjang.
Masing-masing aliran sudah melalui konsolidasi baik secara teologi, fiqh,
keilmuan, ideologi, maupun bangunan sosial. Masing2 sudah memiliki ribuan "Ayatullah"
atau "Syaikhul Islam" yang sangat otiritatif, dengan buku2 ratusan ribu jilid.
Kalau kita teliti lebih dalam, agama atau keyakinan apa pun, termasuk Islam,
tidak lepas dari ambiguitas, multitafsir. Sehingga dalam sejarah semua agama
besar, selalu muncul aliran2 yang masing-masing merasa benar. Kristen, misalnya
adalah agama yang alirannya sudah sangat banyak. Begitu juga Islam, dalam
sejarah awal pun telah terbelah menjadi 2 kekuatan besar Suni dan Syiah.
Masing-masing mengkonsolidasikan diri termasuk konsolidasi kekuatan.
Perbedaan makin tajam, karena ada perasaan yang "umum" yang menganggap kelompok
lain itu sebagai musuh dalam selimut dan bahwa musuh dalam selimut lebih
berbahaya daripada musuh dari luar. Sehingga tidak aneh perbedaan dalam satu
agama lebih "ramai" daripada antar "agama". Dalam sejarah kristiani, perbedaan
antar kaum Katholik dan Protestan menimbulkan peperangan besar di Eropa. Di
Skotlandia, puing-puing peperangan antar kedua kelompok menjadi salah satu
tujuan wisata, yang memberi pelajaran pentingnya toleransi agama.
Sumber Ambiguitas Agama
Kalau kita telisik lebih jauh, sumber dari ambiguitas agama ada 3. Pertama,
ambiguitas tafsir text. Kedua, ambiguitas sejarah. Ketiga, ambigiutas politik.
Ambiguitas tafsir text sulit dihindari karena Kitab Suci Al-Quran maupun hadis
Nabi, seperti juga semua kitab suci agama lain, banyak menggunakan bahasa2 halus
dan tinggi, yang memerlukan tafsir untuk menjelaskan, menjabarkan atau memberi
arti. Nah, dari sinilah timbul berbagai tafsir dan pendapat. Sebagai contoh,
ayat: "tanyalah kepada ahli dzikr, jika kamu tidak tahu". Pertanyaannya:
Siapakah ahli dzikir itu? Kaum Syiah memberi arti Ahlul Bait, sedang ahlu sunah
memberi arti umum yaitu para ulama, adapun kaum sufi memberi arti lain. Ayat ini
memberi implikasi perbedaan siapa yang dirujuk (pola anutan).
Contoh lain, ayat yang penting bagi kalangan Syiah, " Sesungguhnya Aku hendak
mensucikan kamu, hai Ahlul Bait, sesuci-sucinya". Kaum Syiah menjadikan ayat ini
sebagai basis kema'shumam Ahlul bait, sedang kaum Ahlu Sunah tidak terlalu
menjadikannya pokok bahasan. Perbedaan kedua dalam memaknai ayat ini adalah
dalam memaknai siapakah Ahlul Bait? Yang menarik, Hadis Muslim (yang oleh kaum
Suni dianggap kedua paling valid) tentang Tsaqalain (dua pusaka/ pegangan), "
Aku tinggalkan dua pusaka (tsaqalain), yang pertama Al-Quran .... yang kedua
Ahlul bait Nabi", tidak populer di kalangan Ahlu Sunah. Mereka lebih suka
merujuk pada hadis lain, " Al-Quran dan Sunah-ku".
Ambiguitas tidak hanya karena perbedaan memaknai ayat (text), tetapi juga text
mana yang dijadikan prioritas. Contoh sederhana tentang dalil klaim keselamatan
(firqah najiah). Bagi kaum Suni sangat populer hadis tentang 73 golongan, dengan
satu yang selamat, yaitu Ahlu Sunah wal jamaah. Sedang kaum Syiah populer dengan
hadis, "Ahlil baitku laksana bahtera Nuh, siapa yang masuk ke dalamnya akan
selamat".
Contoh yang lain tentu sangat banyak, tetapi intinya adalah perbedaan memaknai
dan memilih text/nash menjadi penyebab utama timbulnya perbedaan mazhab. Ini
tidak berlaku pada umat Islam, tetapi juga kaum agama lain.
Yang kedua ambiguitas sejarah. Dalam perjalanan umat manusia, sejarah bukan
hanya berarti apa yang terjadi, tetapi juga menjadi basis keberadaan (raison
d'etre) dari suatu kelompok. Tidak heran betapa Orde Baru, mengambil angle2
sejarah tertentu dengan tafsirnya untuk mengukuhkan kekuasaannya. Begitu juga
dalam sejarah aliran Islam. Banyak kejadian sejarah, yang mungkin kejadiannya
diakui semua tetapi dimaknai secara berbeda. Misalnya: Kasus pertemuan di Bani
Saqifah untuk mengangkat Abu Bakar, Pertentangan Abu bakar dengan Fatimah,
tertundanya baiat Ali, Perang Unta, Perang Sifin, dan lain-lain. Kejadiannya itu
sendiri mungkin diakui oleh kedua kelompok, tetapi mengapa, apa latar
belakangnya, apa motivasinya, dimaknai secara sangat berbeda bagi kedua kelompok.
Bagi kaum Syiah dengan tafsirnya sendiri kejadian-kejadian itu menjadi patokan
kebenaran ajaran Syiah. Namun, dengan tafsir yang berbeda kejadian itu menjadi
dasar kebenaran bagi kaum Ahlu Sunah. Dan sebanarnya itu hal yang lumrah saja,
jangankan kejadian yang sudah terjadi ratusan tahun, wong apa yang menjadi
penyebab G-30-S yang baru puluhan tahun saja, menjadi kontroversi hingga kini...
ang ketiga adalah faktor politik. Faktor ini berpengaruh besar pada
perkembangan agama. Faktor politik berpengaruh pada dua hal, pertama
perkembangan agama. Ini tidak hanya terjadi pada kasus Islam. Agama Budha
menjadi meluas setelah mendapat dukungan politik dari salah satu raja di India,
begitu juga Kristen. Nah, dalam sejarah Islam kekuasaan Bani Umayah dan Bani
Abasiyah juga berpengaruh besar terhadap perkembangan Islam.
Namun kekuatan politik tidak hanya berpengaruh terhadap meluasnya Islam, tetapi
juga memberi warna terhadap corak aliran Islam. Pada awalnya, pada masa Muawiyah
dan Yazid misalnya penekanan terhadap kelompok Ali sangat nyata hingga ke
mimbar-mimbar agama dalam bentuk pelaknatan terhadap Ali sebagai musuh politik
Muawiyah. Namun, upaya itu dikoreksi oleh Umar bin Abdul Aziz, salah satu raja
dinasti Umayah yang tekenal bijak, yang menandai sedikit rekonsiliasi dengan
kekuatan Ali. Pada masa Umar bin Abdul Azis inilah basis keyakinan Ahlu Sunah
terkonsolidasi dengan pengakuan Ali sebagai satu dari empat khulafaur-Rasydin.
Kekuasaan Dinasti Umayah diakui atau tidak memberi jalan besar bagi dominannya
kekuatan Ahlu Sunah. Sedang pada sebagian masa kekuasaan Abasiyah, berpengaruh
bagi lahirnya kekuatan rasionalitas Islam (Mu'tazilah) meski hanya sebentar.
Contoh agak akhir pengaruh kekuatan politik terhadap perkembangan aliran Islam
adalah kemenangan Ibnu Saudi di semenanjung Arab yang menjadi basis kekuatan
aliran Salaf vis-a-vis Suni tradisional yang didukung Khilafah Usmaniah yang
hampir kolaps. Karena Dinasti Ibnu Saud adalah pendukung utama pandangan Muhamad
bin Abdul Wahab. Semangatnya aplikasi ajaran Wahabi ini hampir2 saja raja Saudi
hendak meratakan kuburan Nabi SAW, kalau tidak diprotes ulama tradisional
seluruh dunia, termasuk NU dari Indonesia. Posisi strategis Arab Saudi, juga
banyak berpengaruh terhadap meluasnya paham Salaf di dunia.
Di sisi lain, revolusi Islam Iran pimpinan Ayatullah Khumaini merupakan titik
picu terkenalnya paham Syiah, sekaligus "ketakutan" dunia Suni terhadap
meluasnya paham Syiah. Di Indonesia, meski secara jumlah paham Syiah tidak
terlalu banyak, namun pengaruhnya di sisi intelektual sangat besar.
Dengan demikian, diakui atau tidak ajaran agama yang kita anut sekarang ini
adalah adalah sudah melalui "bungkus" perkembangan yang sangat lama, yang
dipengaruhi oleh banyak faktor. Dan itu alamiah, tidak hanya dialami oleh Islam,
tetapi seluruh agama besar.
Bagaimana nasib hubungan antar aliran dalam Islam
Menyatukan paham umat Islam, dalam arti alirannya, adalah gagasan yang tidak
masuk akal. Tetapi gagasan untuk menyatukan kekuatan antara aliran-aliran dalam
Islam adalah hal yang masih mungkin dicapai, walau tidak mudah. Untuk kasus
Indonesia, NU-Muhamadiyah sebagai faksi terbesar umat Islam di Indonesia adalah
contoh yang baik hubungan antar aliran, meski masih dalam satu payung Ahlu Sunah.
Keduanya bisa berhubungan harmonis, tanpa harus melebur, karena memang keduanya
memiliki paham yang berbeda. Banyak bidang dalam amal ibadah yang bisa dilakukan
bersama atau bersinergi oleh kedua eksponen utama umat Islam di Indonesia. Sikap
menghargai, tidak menganggu, menjaga silaturahmi, itu saja sudah kekuatan yang
luar biasa bagi umat Islam di Indonesia.
Nah, dalam sekala global. Diantara Kaum Suni (kira2 80% umat Islam) dan Syiah (mungkin
20 %) kalau bisa bersikap saling menghargai, dan tidak saling curiga saja. Itu
sudah kekuatan yang luar biasa. Saya yakin Israel dan Amerika tidaklah seberani
sekarang merendahkan umat Islam.
Teologi Silaturahmi
Untuk keperluan ini, saya ingin ikut mendukung, katakanlah "Teologi
Silaturahmi". Ini adalah landasan bersikap terhadap sesama muslim apapun
alirannya, apapun aqidahnya. Sebagaimana pemahaman saya atas ayat Al-Quran:
"Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS.
49:10)
Saya memimpikan bahwa semua umat Islam bisa menerima dan saling bersilaturahmi
dengan baik, apa pun aliran dan madzhabnya, tanpa banyak syarat-syarat.
Sepanjang dia mengaku muslim, menjadikan Quran sebagai pedamannya, menjujung
tinggi Rasulullah SAW, dia adalah Saudara saya. Meski pahamnya kelihatan aneh di
telinga saya, cara beribadahnya tampak lucu dari kaca mata saya, dia adalah
saudara saya. Yang punya hak untuk saya dengar, saya bantu, saya hargai dan saya
perlakukan selayaknya saudara. Tidak perlu saya banyak curiga, mencari-cari
kesalahan sebagaimana lanjutan ayat yang indah ini:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang
lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita
lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. 49:11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. "(QS. 49:12)
Untuk itu dada kita harus lebar, mempunyai tingkat toleransi atau "range of
tolerance" yang lebar. Manusia itu sangat beragam, memiliki latar belakang,
pengalaman, kecenderungan yang berbeda-beda. Namun sepanjang mereka muslim,
mereka adalah saudara kita.
aintifikasi Islam
Ide ini sepenuhnya mengadopsi ide Alm. Dr. Kuntowijoyo (Beliau adalah salah satu
"guru" saya, dan saya mohon maaf kepada Beliau kalau saya salah mengartikan dan
menafsirkannya). Terinspirasi dari teori Sosiologi A. Comte kacamata terhadap
agama ada 3 tingkatan, pertama mithologi, kedua ideologi, dan ketiga ilmu/sains.
Kacamata mithologi memandang agama penuh dengan mithos-mithos yang tak tersentuh
dan harus diterima apa adanya. Dalam kacamata ideologi, agama berisi ide-ide
besar untuk pembangunan masyarakat. Hanya biasanya kacamata ideologi ini
memandang dunia secara hitam putih, kawan-lawan, benar-salah, sehingga sulit
menerima agama dari versi paham lain. Dalam kerangka ilmu, maka ide-ide besar
itu dirumuskan dalam tataran keilmuan, yang tersistematis, logis dan bisa terus
dikembangkan atau dikoreksi.
Dalam kerangka keilmuan ini, perbedaan pendapat justru menjadi berkah karena
keilmuan menjadi berkembang dengan pertukaran ide dan pengayaankhasanah keilmuan.
Makin tinggi tingkat pertukaran ide, maka akan semakin kokoh keilmuwan. Di
samping itu, ini yang terpenting, memandang agama secara keilmuan akan
memunculkan toleransi. Perbedaan pendapat akan dibicarakan secara dingin, dan
logis. Tidak menjadikan perbedaan paham betapa pun pertentangannya sebagai musuh,
sesat, dan lain lain.
Jika teologi silaturahmi adalah dalam kerangka bergaul antar sesama umat Islam,
saintifikasi Islam adalah dalam interaksi pikiran, ide sesama umat Islam dari
mazhab apa pun. Dalam kerangka saintifikasi Islam, yang dilihat adalah
argumentasi, gagasan, bukan kecurigaan madzhab apa dia, lawan atau kawan. Jika
diskursus keislaman Suni-Syiah dilaksanakan dilaksanakan dalam kerangka keilmuan,
maka kedua pihak bisa saling belajar dari kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sehingga masing-masing bisa mengambil manfaat. Orang-orang Suni misalnya, dalam
dataran keilmuan tidak perlu takut-takut mempelajari karya-karya Mutahhari yang
sangat bagus. Begitu juga orang-orang Syiah tidak perlu takut-takut mempelajari
Aid Al-Qarni misalnya.
Demokratisasi Pemahaman Islam
Meski judulnya mentereng maksudnya sederhana yaitu semua kelompok pemahaman
Islam mendapat tempat untuk berbicara, mengemukakan pendapatnya, tanpa
intimidasi, kecaman, apalagi penyerangan fisik. Ini sebenarnya ajaran Islam yang
indah untuk "bermujadalah dengan ahsan/baik".
Salah satu ekperimen keilmuan berbasis demokrasi di dunia maya, semua pihak
mendapat tempat untuk berbicara, pada saat yang sama menghargai pendapat orang
lain, adalah wikipedia, sebuah free encyclopedia. Pada entri sejarah
Islam (Nabi SAW dan Sahabat), ditampilkan versi keduanya... Menarik juga.
Silakan baca:
http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad,
http://en.wikipedia.org/wiki/Succession_to_Muhammad
Sebagai lawan dari demokratisasi Islam, ya totaliterianism Islam, yaitu
memaksakan pemahaman saya kepada orang lain dalam bentuk apa pun, termasuk
makian, cacian, kecaman, bahkan kalau perlu teror, dan intimidasi. Saya kira
pilihan terakhir ini bukan ajaran Islam yang baik.
"... janganlah kamu menjadi orang yang musyrik, yaitu orang yang menjadikan
agama berpecah-belah, dan masing-masing kelompok berbangga-bangga dengan
kelompoknya" (QS 30:31-32)
Sikap demokratis inilah yang memungkinkan, antar kelompok bisa duduk
berdampingan, saling menghargai, bekerja sama sekaligus "berlomba-lomba dalam
kebajikan dan takwa". Kaum Syiah betapa pun tidak kita setujui, telah dan sedang
berkarya dan berjuang meninggikan kalimah Allah. Sudah selayaknya yang Suni,
ikut mendukungnya sebagai bagian dari saudara yang berbeda paham. Begitu juga
sebaliknya...
Masa depan umat Islam salah satunya ditentukan oleh sikap umat Islam itu sendiri.
Maukah kita bersatu, menyatukan langkah, atau membiarkan dan meneruskan sikap
berpecah belah.
Dengan demikian selesailah tulisan ringkas saya. Wallahu A'lam.
dimuat di: http://myquran.org/forum/index.php/topic,7213.msg150969.html#msg150969