SKISME DALAM ISLAM

    Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam

     Nurcholish Madjid

    Pembicaraan tentang Agama Islam kecuali jika dibatasi hanya kepada hal-hal yang sama sekali normatif belaka dengan tingkat idealisasi sejarah Islam yang tinggi pasti melibatkan pembicaraan tentang berbagai skisme atau perpecahan dalam agama itu. Kesadaran akan adanya skisme itu akhir-akhir ini, sebagaimana telah sering dibicarakan, muncul dengan kuat di kalangan kaum muslimin Indonesia khususnya dan dunia umumnya karena adanya Revolusi Iran pada 1979. Dengan mengesampingkan beberapa perorangan atau kelompok yang agaknya mengalami kesulitan besar untuk "mengakomodasi" kenyataan baru berupa peranan amat mengesankan dari kaum Syi'ah dalam percaturan keislaman internasional sekarang ini, Revolusi Iran bagi sebagian orang-orang muslim menawarkan semacam "hikmah terselubung" (blessing in disguise) berupa cakrawala pandangan keagamaan (Islam) yang lebih meluas. Karena itu jika harus disebutkan kegunaan utama pembahasan kita sekarang ini, maka kegunaan itu ialah sebagai bagian dari usaha bersama untuk mendorong lebih jauh kecenderungan positif tersebut. Dengan begitu diharap bahwa secara berangsur kita dapat mewujudkan dalam kenyataan berbagai angan-angan mengenai umat atau masyarakat Islam yang mendekati gambaran dalam Kitab suci sebagai "ruhama baynahum" (saling cinta kasih antara sesamanya). Tetapi berbagai pengalaman menunjukkan bahwa keadaan itu tidak akan tercipta jika kita tidak memiliki cukup kedewasann dalam sikap keberagamaan kita, dan dalam memandang keberagamaan "orang lain" (dalam pengertian yang seluas-luasnya). Termasuk ke dalam makna kedewasaan itu, kiranya, ialah kesediaan dan kemampuan untuk melihat berbagai kenyataan sejarah secara proporsional, dengan mengakui dan memasukkannya ke dalam hitungan berbagai faktor sejarah sebagai ikut menentukan apa yang telah terjadi, dan apa yang sedang dan bakal terjadi.

Berdasarkan itu semua, maka pembahasan kita dalam makalah ini insya Allah akan kita lakukan dalam semangat tinjauan kritis berdasarkan pandangan yang memperhitungkan berbagai faktor sejarah.

UMAT YANG TUNGGAL

Kenyataan historis pertama tentang agama Islam ialah bahwa umatnya telah terpecah dan bahkan saling menumpahkan darah sejak masa-masa amat dini perjalanan sejarahnya. Seorang muslim yang serius dan prihatin tentu merasakan adanya semacam anomali dalam kenyataan sejarah itu. Apalagi al-Qur'an sendiri sejak dari semula menyatakan dan memperingatkan, tidak saja kepada kaum muslim tetapi juga kepada para penganut agama para Nabi dan Rasul Allah keseluruhannya, agar waspada terhadap bahaya perpecahan dan pertentangan. Salah satu firman suci dalam al-Qur'an yang relevan dengan masalah ini terbaca:

Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Kami (Tuhan) maha mengetahui akan segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini adalah umatmu semua, umat yang tunggal, sedangkan Aku adalah Pelindungmu semua, maka bertaqwalah kamu sekalian kepada-Ku. [1]

Tafsir atas firman itu tidak bisa lain daripada penegasan bahwa semua Nabi dan Utusan Tuhan itu membentuk persaudaraan umat yang tunggal, sebab Pesan Suci mereka pun tunggal, yaitu mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mencintai dan melindungi mereka. Ini menjadi dasar pandangan tentang Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah) dan Kesatuan Risalah atau pesan suci (Wahdat al-Risalah), yaitu pesan suci keprasahan yang tulus kepada kehendak Ilahi (al-islam dalam makna generiknya). Dan inilah pula dasar pandangan tentang Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat al-Insaniyyah).

Namun justru secara historis masalah kesatuan itulah di antara hal-hal yang amat sulit dicapai oleh manusia. Lebih menarik lagi sebagai bahan kajian bahwa manusia cenderung berpecah-belah justru setelah mereka menerima ajaran Tuhan yang dibawa oleh para Utusan-Nya. Keadaan yang menyimpang dari seharusnya ini tidak saja karena berbagai usaha mereka memahami ajaran Tuhan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata (jadi tentunya tumbuh dari niat yang baik dan ketulusan hati), tapi juga karena variasi cara pendekatan kepada ajaran itu membuahkan variasi dalam interpretasi. Maka dalam gabungannya dengan naf:su benar sendiri dan sektarianisme yang jelas selalu mengancam setiap orang atau golongan tanpa kecuali variasi pendekatan dan interpretasi itu, meskipun disertai dengan penuh niat baik dan tulus, acapkali malah menjuruskan orang banyak kepada perpecahan dan pertentangan. Perpecahan dan pertentangan itu semakin destruktif sifatnya karena pembawaannya yang sering bergaya absolutistik dan tak kenal kompromi akibat watak dasar suatu keyakinan keagamaan. Keadaan menyedihkan ini pun secara ringkas digambarkan dalam Kitab Suci:

Pada mulanya manusia adalah umat yang tunggal. Kemudian Allah mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan peringatan, dan Dia menurunkan bersama para Nabi itu Kitab Suci dengan sebenarnya untuk memutuskan perkara antara umat manusia berkenaan dengan masalah yang mereka perselisihkan. Dan mereka yang menerima Kitab Suci itu tidaklah berselisih mcngenai sesuatu (masalah Kebenaran) kecuali setelah datang berbagai penjelasan, karena rasa permusuhan antara sesama mereka. Maka Allah pun, dengan izin-Nya, memberi petunjuk tentang kebenaran yang mereka perselisihkan itu kepada mereka yang beriman. Allah memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus kepada siapa yang menghendakinya (atau, yang dikehendaki-Nya). [2]

Jika harus menyebutkan bukti kebenaran firman itu, maka barangkali kita hanya harus menyebutkan kenyataan tentang semua agama, yang jelas tanpa kecuali terbagi-bagi dan terpecah-pecah menjadi berbagai golongan dan sekte. Lebih dari itu, kerapkali persengketaan di antara sesama mereka, termasuk yang ada dalam satu agama pun, diselesaikan dengan pertumpahan darah dan penindasan. Barangkali, dari perspektif pesan suci semula agama bersangkutan sendiri, tidak ada yang lebih absurd daripada penyelesaian perselisihan faham keagamaan melalui penindasan dan penumpahan darah. Namun inilah yang sebenarnya terjadi dalam pengalaman hidup umat manusia.

Tapi mungkin kita harus mencoba mencari keterangan lain untuk membuat semuanya itu "make sense." Mungkin keterangan itu dapat diperoleh dari beberapa firman Ilahi juga, yang melengkapi firman-firman terkutip di atas sehingga menjadi pandangan dan pengertian yang bulat. Firman itu ialah, misalnya:

Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, maka tentunya Dia jadikan manusia umat yang tunggal. Tetapi mereka itu akan tetap selalu berselisih, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat dari Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka. [3]

Juga firman Allah:

Manusia itu tidak lain kecuali umat yang tunggal, kemudian mereka berselisih. Jika seandainya tidak karena adanya "Sabda" (Kalimah) yang telah lewat dari Tuhanmu, maka tentulah diputuskan (sekarang juga) antara mereka berkenaan dengan perkara yang mereka perselisihkan itu. [4]

Firman-firman itu membuka kemungkinan berbagai interpretasi tentang apa yang ada dalam ajaran Kitab Suci mengenai hakikat manusia sebagai makhluk sejarah berkenaan dengan perkara persatuan dan perpecahan. Mengenai "Sabda" (Kalimah) dalam firman yang dikutip terakhir itu, misalnya, ditafsirkan sebagai berarti "Keputusan" Tuhan, yang merupakan ekspresi Iradat dan Hikmat-Nya yang universal dalam peristiwa tertentu.

   Here we have again the mystic doctrine of "the Word."..."Word" is the Decree of God, the expression of His Universal Will or Wisdom in a particular case. When men began to deverge from one another..., God made their very differences subserve the higher ends by increasing emulation in virtue and piety, and thus pointing back to the ultimate Unity and Reality. [5]

Di sini (dalam ayat ini) kita mendapatkan lagi doktrin kesufian tentang "Sabda." "Sabda" adalah Keputusan Tuhan, pernyataan Iradat atau Hikmat-Nya yang universal dalam suatu masalah tertentu. Ketika manusia telah bersimpangan jalan satu dari yang lain, Tuhan membuat justru berbagai perbedaan mereka itu membantu mengarahkan manusia kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan meningkatnya perlombaan dalam kebaikan den kesalahan, dan dengan mengarah kembali kepada Kesatuan den Wujud yang mutlak

Ayat suci dan tafsirnya itu mengingatkan kita kepada sebuah hadits yang sering dikutip orang bahwa perselisihan di antara orang yang beriman adalah suatu rahmat. [6] Dan ayat suci itu bersesuaian dengan ayat suci yang lain, yang menyebutkan adanya Kehendak Ilahi tentang perbedaan antara sesama manusia, dan adanya Kehendak agar dengan perbedaan itu manusia berlomba-lomba ke arah berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat, emulation in virtue and piety). Ayat suci itu ialah firman-Nya:

Jika seandainya Allah menghendaki, maka pastilah Dia menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi (Dia tidak menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu semua berkenaan dengan sesuatu (kelebihan, yaitu faktor terpenting yang membuat manusia berbeda-beda -NM) yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah kamu semua (dengan menggunakan kelebihan itu) untuk berbagai kebaikan. Kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, kemudian Dia akan menerangkan kepada kamu tentang segala sesuatu yang pernah kamu perselisihkan. [7]

Dari perspektif inilah kita akan memasuki bidang yang sebenarnya dari pembahasan makalah ini, yaitu tinjauan ulang secara kritis-historis terhadap perpecahan sosial keagamaan yang terjadi dalam Islam dalam perjalanan perkembangannya yang amat dini.

TENTANG "AL-FITNAT AL-KUBRA"

Mungkin bagi banyak orang cukup membosankan, namun pembicaraan tentang pembunuhan khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, sebagai fitnah besar yang mengawali skisme dalam Islam tidak mungkin dihindarkan. Maka dengan sedikit melawan semacam "konsensus" di kalangan kaum Sunni untuk menghindari pembicaraan tentang tingkah laku historis para Sahabat yang kurang mencocoki beberapa ketentuan normatif, [8] kita akan melakukan tahap pembahasan ini dengan pembicaraan singkat tentang peristiwa menyedihkan yang kemudian dikenal sebagai al-fitnat al-kubra ("ujian besar") itu.

Pembunuhan terhadap khalifah ketiga terjadi duapuluh empat tahun setelah wafat Nabi. Sekelompok tentara (Arab Islam) dari Mesir datang Ke Madinah untuk mengajukan klaim kepada Khalifah tentang apa yang menjadi hak mereka. Tapi mereka segera kembali pulang ke Mesir, karena telah diberi tahu (secara palsu) bahwa persoalan mereka telah diselesaikan dengan baik oleh Khalifah melalui perundingan dengan ketua utusan mereka. Namun setelah mereka mendapat berita yang benar bahwa ketua utusan mereka itu malah telah dibunuh, mereka kembali ke Madinah untuk mengajukan tuntutan. Setelah beberapa saat perundingan dan musyawarah, yang di situ kaum bukan-Umawi di Madinah menunjukkan sikap netral, delegasi tentera itu menyerbu Utsman di rumahnya, dan membunuhnya. (Seperti halnya dengan Umar sebelumnya, juga Ali sesudahnya, Utsman memerintah hanya dengan mengandalkan reputasi dan nama baik pribadi, tanpa pengawal, sebagaimana layaknya adat kebiasaan para sesepuh (al-syaykh) suku-suku Arab menjalankan kepemimpinan mereka. Kebiasaan itu membantu memudahkan usaha membunuhnya, sebagaimana telah terjadi pada Umar sebelumnya dan kelak terjadi pula pada Ali). [9]

Tentang mengapa delegasi tentara itu tidak puas terhadap Utsman dalam menjalankan tugas kekhalifahannya, tersedia tidak hanya satu keterangan, melainkan banyak dan cukup kompleks. Pertama ialah, bahwa meskipun Utsman termasuk perintis pertama orang-orang Arab Makkah masuk Islam, namun dia adalah seorang anggota klan Umayyah yang berkuasa di kota itu, yang klan itu menjadi musuh utama Nabi, bahkan sikap permusuhan mereka itu berlangsung terus sampai boleh dikata detik-detik terakhir sebelum Nabi wafat. Abu Sufyan, misalnya, adalah seorang penguasa Makkah yang mengorganisasi dan memobilisasi orang-orang Quraisy melawan Nabi di Mekkah, sampai dengan saat Nabi menaklukkan Makkah. Meskipun akhirnya Abu Sufyan masuk Islam, juga anaknya Mu'awiyah yang sedikit terlebih dahulu berbuat serupa, namun hal itu terjadi lebih banyak hanya berkat kebijaksanaan diplomatik Nabi yang memberi dan mengakui hak istimewa dan kehormatan mereka.

Sebagai klan dengan tradisi kekuasaan yang mapan, kaum Umawi segera melihat pada kekhalifahan Utsman suatu kesempatan untuk mengembalikan kedudukan mereka yang baru saja hilang. Mereka mengelilingi Utsman dengan penasehat-penasehat dan tenaga-tenaga ahli, seperti seorang "aktivis" Umawi, Marwan ibn al-Hakam. Sebagian dari hadirnya para penasehat dan tenaga ahli Umawi itu sebenarnya merupakan lanjutan kebijaksanaan Umar sebelumnya, karena Umar melihat pada kaum Umawi itu kecakapan pemerintahan yang bisa dimanfaatkan. Tetapi tanpa keteguhan kepribadian Umar, Utsman menjadi tidak banyak berdaya menghadapi klannya sendiri, dan ia pun terjerumus kedalam praktek-praktek nepotistik yang mengundang berbagai reaksi keras banyak kalangan.

Sebenarnya Utsman melanjutkan kebijakan Umar, tapi tanpa mempunyai wibawa hebat seorang Umar. Para tentera suku Arab (al-muqatilah) yang oleh Umar ditempatkan di berbagai kota garnizun di daerah-daerah taklukan dipertahankan oleh Utsman seperti keadaan mereka semasa Umar, sementara perang sendiri, yang menjadi alasan penempatan itu, telah menjadi peristiwa sesekali saja. Para tentera ini hidup menetap di tempat-tempat tersebut, seperti Kufah, dalam suasana terpisah dari penduduk bukan-Arab sekelilingnya. Bertindak sebagai penguasa pada kota-kota perbatasan itu ialah para gubernur (bekas) pedagang kaya yang cakap memerintah dari keluarga-keluarga Quraisy dan sekutu mereka dari Taif (klan Tsaqif), yang kebanyakan mereka itu terdiri dari kaum Umawi. Mereka memegang pemerintahan menghadapi kecenderungan kesukuan dan semangat kedaerahan orang-orang Arab, dan kekuasaan mereka itu diawasi oleh semangat ajaran umum Islam yang saat itu Islam telah menjadi ciri utama sifat ke-Arab-an mereka.

Sudah sejak masa Umar banyak orang Arab Quraisy yang kaya, yakni para pedagang Mekkah, yang pergi ke daerah-daerah taklukan, terutama Mesopotamia di Irak, dan meneruskan usaha perdagangan mereka di sana. Ini acapkali menimbulkan rasa keberatan dari pihak orang-orang Arab yang kurang mampu, khususnya orang-orang Arab setempat. Utsman pun tidak bisa mengatasi situasi warisan pendahulunya itu, meskipun sebenarnya ia berhasil sedikit mengubah keadaan dengan mengarahkan sebagian investasi dari Lembah Mesopotamia ke Hijaz, berbentuk proyek-proyek irigasi di berbagai oase. Kebijaksanaan Utsman itu membantu mengurangi kecenderungan emigrasi ke luar Hijaz dan memperkuat kekuasaan pusat di Madinah secara fisik (sumber daya manusia). Kebijaksanaan itu juga mengurangi ancaman bahwa budaya Arab akan terserap ke dalam budaya daerah-daerah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent, daerah subur yang membentuk konfigurasi bulan sabit dari pantai timur Laut Tengah naik ke utara, ke daerah pegunungan Anatolia sebelah selatan membentang ke timur dan kembali ke selatan, ke Lembah Mesopotamia).

Tetapi kebijaksanaan Utsman yang yang menghambat emigrasi dari Hijaz itu membuatnya tidak populer di kalangan orang-orang Makkah. Ini tumbuh menjadi faktor penunjang bagi protes-protes yang mulai dilancarkan para tentara. (Harus diingat bahwa pada saat itu semua orang muslim adalah warga negara dan sekaligus tentara). Apalagi setelah ekspedisi menaklukkan Iran telah rampung dan tuntas, ketidakpuasan di kalangan tentara terhadap kebijakan Utsman semakin keras dinyatakan orang, karena tidak lagi bisa dialih-arahkan kepada kegiatan-kegiatan ekspedisi militer. Suatu kerusuhan muncul di Kufah, sebuah kota garnizun yang didirikan Umar dan kerusuhan itu harus ditindas dengan penumpahan darah. Para gubernur yang melanjutkan tugas mereka semenjak diangkat oleh Umar banyak yang cakap dan sebagian dari mereka diterima baik oleh penduduk setempat. Maka penduduk Syria puas dengan Mu'awiyah, Basrah dengan Ibn Amir (yang di waktu damai giat berdagang untuk mengumpulkan kekayaan tapi bertindak cukup adil karena ia menganjurkan orang lain agar berbuat serupa pula). Tetapi gubernur yang ditempatkan di Mesir (di kota Fusthath, Kairo lama), tidak pernah memuaskan orang-orang setempat, karena dipandang kurang menunjukkan ukuran moral yang tinggi (konon suka minuman keras dan mabuk). Demikian pula Kufah, tidak ada kebijakannya yang dapat diterima di sana, bahkan gubernurnya pun ditolak orang.

Utsman dikenal sebagai amat berjasa menyatukan ejaan penulisan al-Qur'an dengan memerintahkan untuk membakar semua versi ejaan yang lain (sehingga sampai sekarang ejaan standar Kitab Suci agama Islam itu disebut ejaan atau "rasm Utsmani"). Penyatuan ejaan al-Qur'an itu amat prinsipiil sebagai dasar penyatuan orang-orang Arab Muslim khususnya dan semua orang Muslim umumnya. Namun, sesungguhnya, usaha Utsman itu tidak berjalan tanpa tantangan. Ibn Mas'ud, salah seorang ahli membaca al-Qur'an yang amat terkenal dan disegani, berkedudukan di Kufah, sempat menunjukkan perasaan tidak sukanya kepada kebijakan Utsman. Menurut para ahli akhirnya ia patuh juga kepada keputusan Khalifah. Tetapi kejadian itu tetap meninggalkan bekas, sekalipun akhirnya dapat dinetralisasikan melalui usaha akomodasi berbagai versi bacaan Kitab Suci dalam bentuk pengakuan keabsahan "bacaan tujuh" Al-qira'at al-sab'ah.

Kebijaksanaan Utsman berkenaan dengan Kitab Suci itu sungguh patut dipuji. Dan jika ummat Islam sesudah itu menikmati kesatuan penulisan dan pembukuan Kitab Suci-nya yang tidak ada bandingnya dalam sistim kepercayaan atau faham lainnya mana pun juga, maka sebagian besar keberuntungan itu adalah berkat jasa Utsman ibn Affan yang bergelar Jami' al-Qur'an. (Pengumpul al al-Qur'an). (Bahkan kaum Syi'ah yang dikenal sangat anti Utsman itupun akhirnya juga mengakui jasa khalifah ketiga ini, dengan menyesuaikan dan mengikuti cara penulisan Kitab Suci menurut ejaan Utsman, sekalipun mereka agaknya juga mempunyai jalur penuturan dari Ali ibn Abi Thalib, handalan utama mereka dalam masalah periwayatan). [10]

Dan seperti hampir semua kebijaksanaan Utsman yang lain, tindakannya untuk menyatukan sistem penulisan al-Qur'an itu pun dapat dikatakan sebagai kelanjutan kebijakan Umar sebelumnya.

Salah satu kebijakan lagi dari Umar yang dilanjutkan atau diwarisi oleh Utsman ialah yang berkenaan dengan sistem keuangan negara. Umar disebut sebagai "yang pertama menciptakan lembaga-lembaga" (Arab: awwal man dawwana al-dawawin), khususnya lembaga atau sistem penggajian tentera dengan besar dan kecilnya gaji (sesungguhnya lebih tepat disebut lumpsum) itu menurut tingkat kepeloporan seseorang dan jasanya dalam agama Islam. Maka untuk menunjang sistemnya inilah antara lain Umar tidak mengizinkan tentera memiliki tanah-tanah produktif (pertanian) di daerah-daerah yang telah mereka bebaskan, khususnya di kawasan Bulan Sabit Subur. Kebijakan Umar di bidang ini dan di bidang finansial pada umumnya sangat dihargai oleh para ahli sejarah Islam (khususnya, tentu saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh para ahli bukan-Muslim sebagai suatu tindakan seorang genius dan bijak. (Juga Umarlah yang memprakarsai pendirian lembaga keuangan yang dikenal dengan bayt al-mal --harfiah berarti "rumah harta"). Tapi ketika Utsman mewarisinya, ternyata sedikit demi sedikit sistem Umar itu mulai menunjukkan segi-segi kelemahannya. Ditambah lagi, seperti telah disinggung, Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti pendahulunya itu. Tentera di berbagai kota garnizun mulai merasakan tidak adilnya penghasilan daerah mereka dikontrol dan dibawa ke Madinah sebagai fay' (milik negara). Mereka menginginkan untuk secara langsung mengontrol dan menguasai penghasilan daerahnya masing-masing itu. Ketidakpuasan ini masih harus ditambah, sebagaimana telah dikemukakan, dengan gejala-gejala nepotisme Umawi yang semakin terasa pada masa Utsman, khususnya dalam bidang-bidang keuangan ini. Maka, mengulangi perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah-tanah pertanian daerah taklukan itu, [11] para tentera menghendaki agar tanah-tanah produktif itu langsung dibagikan kepada tentera penakluk bersangkutan, dan dilepaskan dari pengawasan Madinah, sama dengan harta rampasan perang mana pun juga. Jadi berbeda dengan pandangan Umar yang tidak melihatnya demikian.

Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap Utsman itu yang jelas sebagian bukan karena kesalahan Utsman sendiri berakhir dengan pembunuhan Khalifah. Dan dengan begitu dimulailah perang saudara selama lima tahun, hanya selang sekitar seperempat abad sejak wafat Nabi.

GOLONGAN-GOLONGAN KHAWARIJ, SYI'AH DAN SUNNAH

Kejadian pembunuhan Utsman hanyalah permulaan, dan hanyalah salah satu, dari deretan fitnah yang amat besar pengaruhnya kepada terjadinya skisme dalam Islam. Segera setelah Utsman terbunuh, maka, menurut sementara ahli sejarah Islam, para bekas pembunuh itu atau simpatisan mereka mensponsori pengangkatan Ali (ibn Abi Thalib) sebagai khalifah, menggantikan Utsman. Kebetulan Ali yang adalah kemenakan dan menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam, telah tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh kesalihan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam.

Bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai pengganti (khalifah) Nabi, tidak hanya sekarang sesudah Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri. Tentang mengapa yang terjadi ialah pengangkatan Abu Bakr, seorang Sahabat Nabi yang amat dekat dan senior, serta mertua beliau (ayahanda A'isyah, salah seorang isteri beliau yang amat dicintainya) sebagai imam (imam, artinya orang yang berdiri di depan, yakni, memimpin, khususnya dalam shalat berjama'ah) ummat Islam di Madinah itu, adalah bahan kontroversi yang serius, yang sampai sekarang masih menjadi bahan pembicaraan. Tetapi agaknya penunjukan Abu Bakr, dengan pensponsoran kuat dari Umar, lebih mirip tindakan darurat (emergency), tercermin dari penggunaan istilah Khalifah (pengganti) olehnya untuk tugasnya itu. Baru di masa Umar sifat kedaruratan itu mulai hilang, dan tumbuh kesadaran padanya akan sifat kepermanenan jabatan pemimpin ummat Islam. Maka Umar, untuk sebutan resmi jabatannya itu, memilih nama atau gelar Amir al-Mu'minin, yakni, Komandan Orang-orang Beriman, karena memang program utama masyarakat Islam waktu itu ialah melancarkan ekspedisi-ekspedisi militer ke luar Jazirah Arabia. Program itu sendiri konon sebagai kelanjutan rintisan dan pelaksanaan pesan Nabi menjelang wafat.

Perkembangan pranata politik Islam pada saat pengangkatan Ali ialah bahwa sistem kekhalifahan telah berjalan dan tumbuh selama hampir seperempat abad, lengkap dengan berbagai pelembagaannya yang sebagian besar sebagaimana telah disinggung, diletakkan oleh Umar. Maka kekhalifahan sebagai saat itu telah menjadi terlalu amat penting untuk dilewatkan begitu saja, dan di hadapan berbagai kritis yang mulai mengancam ummat Islam lembaga itu menjadi rebutan dalam tema-tema "to be or not to be." Telah disebutkan bahwa Ali sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang salih dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung pembunuhannya. Maka suasana curiga kepada Ali dari banyak pihak menjadi tak terhindarkan. Kecurigaan itu mewujudkan diri dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah) tetapi juga dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakr dan isteri Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubayr ibn al-Awwam, seorang anggota keluarga Abu Bakr. Sedangkan dari kalangan kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak abu Sufyan, musuh utama Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn al-'Ash, gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir.

Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap 'Ali itu tidak saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. 'Ali yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani agaknya dengan mudah mengalahkan A'isyah dan al-Zubayr di pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai "Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran). Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya tersembuhkan.

Yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah. Tetapi mungkin sebagai gabungan antara kesalihan yang lebih mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer terhadap Mu'awiyah. Mereka ini kemudian membentuk kelompok ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni, "orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)," dengan secara total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang benar. (Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para hamba-Nya." [12]

Maka sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran  tentang hakikat   dan  sifat  gerakan  mereka,  yaitu  gerakan   dengan semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok  dengan tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak terhindarkan  membawa  mereka  kepada  situasi  mudah    sekali terpecah-belah   dan   saling   bermusuhan,    untuk   akhirnya melenyapkan  diri  mereka  sendiri.  Egalitarianisme    radikal kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosialpolitik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita  Islam  seperti diletakkan   oleh  Nabi  dan  merupakan  kelanjutan   cita-cita universal  dalam  tradisi  bangsa-bangsa  Irano-Semitik  sejak ratusan   tahun,   dan   yang   dengan  kuat   sekali  mewarnai pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur.  Tetapi karena dibawakan   dengan   militansi    yang   hampir   tak terkendalikan,  maka  konsep-konsep  itu  yang   antara    lain melahirkan  doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman  yang benar  telah  menjerumuskan  masyarakat  Islam  kepada suasana "semua  lawan  semua,"  tanpa  ada  pihak    yang   benar-benar diuntungkan. Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka  unggulkan dengan  penuh  antusiasme,  namun akhirnya mereka habisi dalam suatu pembunuhan politik.

Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong  tatanan  mapan, mereka   kemudian   lebih   dikenal   sebagai    kaum  Khawarij (pemberontak).  (Mereka  juga  dinamakan  kaum  al-Haruriyyun, nisbat  kepada  oase  al-Harura  dekat  Kufah,  tempat   mereka berpangkalan).  Seperti  telah  dikatakan  tadi,  mereka    ini kemudian mengalami penghancuran   diri    sendiri   (self annihilation) justru karena watak mereka yang sangat  akstrem. Akibatnya  ialah  bahwa  mereka  hampir-hampir  praktis   tidak tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini.

Tetapi sebenarnya  hanya  secara  fisik  mereka  boleh   dikata terhapus  dari  sejarah.  Sedangkan  secara  doktrinal, justru banyak sekali faham-faham keagamaan yang kini  berkembang  dan mapan  di  kalangan  kaum  Muslimin  dapat  ditelusuri kembali sebagai asal  dari  problematika  kaum  Khawarij.  Bahkan   ada tanda-tanda  bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana dahulu  muncul  dalam  sistem  kalam  kaum  Mu'tazilah,    kini menunjukkan  daya  tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian kaum Muslim "liberal" (dalam  arti  lebih  banyak   menunjukkan sikap  kritis  dan  mungkin  ingin lepas dari kukungan tatanan mapan sosial-keagamaan yang ada). Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya Ali  oleh  kaum  Khawarij  ialah pengakuan dan dukungan hampir universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah  di  Damaskus, sekurang-kurangnya  secara  de  facto.  Terutama pada tahun 41 Hijri, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan  kembali kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan menyebut tahun itu sebagai "Tahun  Persatuan"  (Amal-Jama'ah). [13]

Dengan   modal   persatuan  itu  Mu'awiyah  dapat   melanjutkan program-program  ekspansi  militer  dan  politik  yang   sempat tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah. (Mu'awiyah ternyata menunjukkan kecakapan memerintah  yang  mengesankan,  sehingga para  ahli  sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam yang kedua terbesar, yakni,  sesudah  Umar  ibn  al-Khaththab. Bahkan  cukup  menarik  bahwa  ibn Taymiyyah, dalam polemiknya dengan kaum Syi'ah, masih  sempat  menunjuk  kepada  kenyataan bahwa  sementara  Ali  mendapat  dukungan bagi kekhalifahannya hanya dari sebagian umat Islam,  Mu'awiyah  mendapat  dukungan yang   boleh   dikata  universal.  Ini,  dalam   pandangan  Ibn Taymiyyah, menunjukkan segi tertentu kelebihan Mu'awiyah  atas Ali,  meskipun  ia  tetap secara keseluruhan mengunggulkan Ali atas lawannya itu). [14]

Tetapi setelah Mu'awiyah  meninggal,  keadaan  kembali  kepada kekacauannya  yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil risiko yang dapat mengganggu  "keseimbangan  rawan"  (delicate balance)  susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh dengan  banyak  pengorbanan  itu,  sudah  sejak  semula   dalam kekhalifahannya  Mu'awiyah  meminta agar masyarakat menyetujui untuk mengangkat Yazid, anak  sendiri,  sebagai  penggantinya. Sebagian  besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid pun dinyatakan sebagai  Khalifah.  Tetapi  kekhalifahan  Yazid yang  memang  tidak  banyak  memenuhi  gambaran  ideal seorang penguasa  Muslim  itu  segera  mengundang  munculnya    kembali pertentangan-pertentangan laten.

Tantangan  terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung Ali  yang  memang  nampak  selalu  siap   menggunakan    setiap kesempatan.  (Sesungguhnya  mereka  berharap, sepeninggal Ali, agar  Hasan,  anaknya,  mempertahankan   klaim    kekhalifahan, menghadapi  Mu'awiyah  di  Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim  itu dan  hidup  hampir  menyendiri  secara  damai di Madinah. Maka harapan para  pendukung  Ali  kini  ditujukan  kepada   Husayn, saudara  Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah, Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria  datang  menyerbu,  banyak kalangan  penduduk  Kufah  sendiri  yang  menarik   dukungannya kepada Husayn, setelah berhasil dibujuk oleh  gubernur  Syria. Husayn  dengan  kekuatan  tenteranya  yang kecil menolak untuk menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir  Karbala, dekat  Kufah.  Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husayn, putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam dan tragis.

Terbunuhnya  Husayn,  seperti  terbunuhnya  Utsman sebelumnya, merupakan  peristiwa  terpenting  dalam  fitnah  kedua,    yang mempunyai   dampak   amat   luas   dan   mendalam  pada  sistem sosial-keagamaan Islam sampai sekarang. Adalah sejak peristiwa Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya  lengkapnya  ialah syi'ah  Ali.  "Partai  Ali"). Dengan menggunakan sentimen umum terhadap kematian tragis Husayn,  kaum  Syi'ah  perlahan-lahan mengkonsolidasikan  diri dan mengembangkan pandangan-pandangan sosial-politik  keagamaan  yang  kelak  menjadi  dasar   sistem doktrinal Syi'isme.

Tetapi  Yazid  tidak  hanya  menghadapi  tantangan  dari   kaum Syi'ah.  Di  Makkah  bangkit  Abdullah  ibn   al-Zubayr    (ibn al-Awwam)  yang  ayahnya  dahulu  pernah menentang Ali bersama A'isyah dan kalah kini bangkit menentang  Yazid  dengan  cukup efektif.  Yazid  tidak bisa mengatasinya, dan setelah penguasa Damaskus  ini  meninggal  sesudah  menjabat  sebagai   khalifah selama  sekitar  tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar umat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan  Makkah  sebagai ibukota.

Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di luar kota Makkah sendiri, meliputi sebagian besar pedalaman Jazirah Arabia,  khususnya  di daerah pedesaan atau badawah, kekuasaan berada  di  tangan  kaum  Khawarij  yang  seperti   selama  ini melancarkan   perang  "hit  and  run"  terhadap   Abdullah  ibn al-Zubayr. Sebenarnya kaum  Khawarij  ini  hampir  berhasil  menghidupkan beberapa  nilai  yang  diajarkan  oleh  Nabi,  khususnya faham persamaan umat manusia. Egalitarianisme mereka  telah  membuat mereka  termasuk  yang  pertama dalam sejarah Islam yang tidak membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab.  Dan politik  mereka yang menerapkan prinsip nonintervensi terhadap kelompok-kelompok bukan-Muslim, dengan membiarkan mereka dalam otonomi  penuh  mengurus  kepentingan  mereka  sendiri,   telah membuat kaum Khawarij cukup favorable di mata kaum non-muslim.

Tetapi kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan  dari  kalangan Muslim  yang lebih terorganisir di kota-kota. Kebiasaan mereka untuk melakukan gerilya dalam kelompok-kelompok penyerang yang disusun  seperti sistem kabilah sebelum Islam (masa Jahiliyah) telah  mengundang  antipati  orang-orang  kota.  Ini    membuat kekuasaan  kaum  Khawarij,  meskipun  selama  fitnah kedua ini menguasai teritorial yang paling luas, tidak  pernah  efektif. Apalagi,  setelah  secaara  singkat menjadi pendukung Abdullah ibn al-Zubayr pada saat permulaan penampilan  khalifah  Makkah itu,  kaum  Khawarij  terpecah  menjadi  dua, yang berbasiskan Iran, yang dikenal sehagai  kaum  Azariqah,  menganggap  siapa saja yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan akibat hukum bunuh yang mereka  laksanakan  secara  konsekuen. Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentara Ibn al-Zubayr yang berpangkalan di Basrah, Irak.

Selain menghadapi kaum Khawarij,  Ibn  al-Zubayr  masih  harus menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami kekalahan yang tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum Syi'ah  sekali  lagi mencoba  memobilisasi  diri dan menemukan figur sentral mereka pada  putera  Ali  yang   lain,   yaitu   Ibn    al-Hanafiyyah. Pemberontakan  kaum  Syi'ah  ini dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi Ubayd. Kaum Syi'ah, sama halnya  dengan  kaum  Khawarij,  juga ingin  menegakkan  prinsip  persamaan  manusia,  namun   dengan cara-cara yang lebih moderat. Mereka  dengan  tegas  mengambil sikap   yang   menyamakan  status  antara  orang-orang   Muslim bukan-Arab dengan Muslim Arab. Tetapi  egalitarianisme  mereka ini  justru  membuat marah orang-orang Muslim Arab Kufah, yang kemudian berpaling melawan mereka. Tantangan orang  Kufah  ini mempermudah  pemberontakan  kaum  Syi'ah untuk dipatahkan oleh Ibn al-Zubayr dengan menggunakan kekuatan tentara dari  Basrah yang saat itu telah bebas dari tugas menghadapi kaum Khawarij.

Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan Syi'ah tidak berarti bahwa mereka  benar-benar  bebas  dari  oposisi. Kaum  Khawarij  dan  Syi'ah  itu  tetap merupakan ancaman yang laten. Sementara itu, di utara,  di  Syria,  kekuatan-kekuatan oposisi  kelanjutan  kaum Umawi berhasil mengkonsolidasi diri. Kaum Umawi yang berkoalisi dengan  kaum  Banu  Kalb  (sandaran utama   kekuatan   Arab  Syria  bagi  kaum  Umawi   sejak  masa Mu'awiyah) mengangkat Marwan ibn al-Hakam,  sepupu  Mu'awiyah, sebagai  Khalifah.  (Adalah  Marwan  ini yang dahulu bertindak sebagai penasehat utama Khalifah Utsman ibn Affan dan  didakwa sebagai  dalang pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang ke Madinah untuk mengadukan perkara mereka, dan yang  kemudian membangkitkan   amarah   mereka   dengan   akibat    pembunuhan khalifah). Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di  Syria  sebagai salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh dan berkembang, sehingga Mesir pun tidak  lama  jatuh  ke  tangan  Marwan   dan anaknya,  Abd al-Malik. Setelah menyusul Irak, Irak juga jatuh ke tangan kaum Umawi, yang berarti  hilangnya  basis  dukungan bagi  Ibn  al-Zubayr  di  Mekkah.  Kota-kota garnizun di bawah kepemimpinan kaum Umawi yang tegar kini  lebih  efektif  dalam melawan gerilya kaum Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan mereka dibawah kepemimpinan Ibn al-Zubayr yang  lunak.  Hingga akhirnya  kaum  Umawi  berhasil merebut Makkah sendiri (Ka'bah sempat hancur dan harus dibangun  kembali  karena  pertempuran memperebutkan  kota  suci  itu), dan di situ Khalifah Abdullah ibn al-Zubayr (ibn al-Awwam) terbunuh.

Kini kekhalifahan sepenuhnya pindah ke tangan anak Marwan, Abd al-Malik (692-705), yang oleh Hodgson disebut sebagai khalifah Islam  terbesar  ketiga  setelah  Umar  dan  Mu'awiyah.    Segi kebenaran  Abd  al-Malik  ialah  bahwa  ia berhasil mengakhiri fitnah (kedua), dengan melakukan  berbagai  akomodasi.  Dengan tegas  Abd  al-Malik  mendasarkan  sistemnya  di  atas   konsep kekuatan (force). Maka negara menjadi negara  kekuasan  (macht staat), dan faham keagamaan diperhitungkan hanya setelah jelas siapa yang  unggul  melalui  kekuatan  itu.  Juga   penggantian kekhalifahan  dengan  tegas didasarkan kepada pewarisan, dalam bentuk  suksesi  melalui   penunjukan   oleh    khalifah   yang terdahulu.

Kebesaran  Abd  al-Malik  ibn  Marwan yang lain terletak dalam kegairahannya untuk menegaskan supremasi Islam  terhadap  yang lain.  Di  sisi  lain tindakannya bisa disebut sebagai sejenis nasionalisme Arab. Tetapi ketika Abd al-Malik  mengganti  mata uang  logam  Yunani  yang  bergambar kepala raja mereka dengan mata uang logam khas Arab  dan  Islam  dengan  simbol  kalimah syahadat, maka efeknya ialah penegasan kedaulatan Islam.

Berbeda  dengan  pandangan  keagamaan kaum Khawarij dan Syi'ah pandangan keagamaan kaum Umawi memang  sangat  berat  berwarna ke-Arab-an.  Bagi  mereka  Islam  adalah lambang Arabisme yang dipersatukan, dan berfungsi terutama  sebagai  kode  etik  dan ajaran  disiplin  bagi  kekuatan  elite penakluk dan penguasa. Berdasarkan pandangannya itu Abd al-Malik  melihat  pentingnya usaha  lebih  lanjut  mempersatukan  orang-orang Arab di bawah bendera Islam melawan kecenderungan kesukuan yang sampai  saat itu  masih  menunjukkan  potensi  latennya.  Solidaritas   Arab berdasarkan  Islam   melawan   kecenderungan   kesukuan    lama (Jahiliyah)  ini  kemudian  menjadi dasar ide tentang Jama'ah, suatu  konsep  atau  idiologi  yang   meletakkan    nilai-nilai persatuan dan kesatuan di atas semangat kesukuan dan bahkan di atas faham-faham keagamaan faksional.

Sebagai dukungan asasi bagi  konsep  Jama'ah-Nya  itu,  dengan dibantu  oleh  keahlian  dan  kesarjanaan al-Hajjaj ibn Yusuf, bekas guru madrasah di Thaif, pada kalangan Banu Tsaqif  (yang sebelumnya  telah  membantu  menaklukkan  Mekkah, membunuh Ibn al-Zubayr,  dan  menghancurkan   Ka'bah   serta    membangunnya kembali),  Abd  al-Malik  meneruskan usaha mempersatukan ummat Islam berkenaan dengan Kitab Suci mereka,  dengan  memperbaiki cara  penulisannya  dan  memastikan  harakat bacaannya melalui penambahan beberapa diakritik dan vokalisasi  (harakat).  [15] Dampak  amat  penting  tindakan ini ialah penyatuan yang lebih meyakinkan seluruh kekuatan Islam  (dan  Arab),  yang  menjadi dasar   kebesaran   kekuasaan  Umawi  (lebih  tepat,   Marwani, sebagaimana sebutan pilihan  sementara  ahli  sejarah  Islam). Melalui   kebijaksanaan  Abd  al-Malik  ibn  Marwan   ini  maka al-Qur'an  mempunyai  fungsi  lain,  yaitu   sebagai    lambang persatuan  dan  kesatuan (Jama'ah) yang tak tergugat. Kemudian dorongan untuk memahami lebih baik dan melaksanakan  ajarannya secara lebih tepat tumbuh dengan pesat di kalangan umum. Maka  dalam  usaha  memahami  lebih  baik  Kitab  Suci itu dan melaksanakannya dalam kehidupan nyata, kaum Muslimin, terlebih lagi  para  penguasa  Umawi, semakin banyak merasakan perlunya bahan rujukan dari kebiasaan mapan (sunnah) masa  lalu  Islam, yang  sebenarnya belum lama berselang itu. Nampaknya masa lalu Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi sendiri.  Tetapi,  sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan sehari-hari, masa Umar ibn  al-Khathab  nampak  paling  banyak dijadikan  rujukan.  Maka  kaum  Umawi  di Damaskus itu, dalam masalah pemerintahan menurut pengertian  seluas-luasnya,  jika pemerintahan   itu   harus   dijalankan   dengan    norma-norma keislaman, banyak melanjutkan rintisan  dan  percontohan  Umar ibn  al-Khathab,  dengan  berbagai modifikasi dan penyesuaian. Karena  itu  ketika  para  qadli  sebagai   pemegang    semacam kekuasaan  yudikatif  di  daerah-daerah  (Abd  al-Malik adalah orang  pertama  melembagakan  jabatan   qadli   itu),    banyak referensi  dilakukan  kepada  preseden  yang ada dalam sejarah Islam.  Maka  dengan   begitu   secara   berangsur    tumbuhlah yurisprudensi  Islam,  yang kelak melahirkan disiplin terpisah dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh. [16] Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden) untuk menetapkan  hukum lambat-laun tumbuh manjadi kesadaran tentang otoritas tradisi (sunnah) yang  sah  (valid).  Maka  perhatian kepada  cerita, anekdot, dan penuturan tentang para tokoh masa lalu itu, khususnya tentang Nabi  sendiri  dan  para  Sahabat, tapi  juga  tentang  tokoh-tokoh  generasi  ketiga umat Islam, menjadi semakin besar. Ini  semua  kelak  disistematisasi  dan dikritik,  untuk  selanjutnya  dikodifikasi, oleh para sarjana hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.

Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan  untuk  mencatat hadits  telah  terjadi  sejak  masa sangat awal sejarah Islam, rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi  sejarah  mencatat bahwa  dorongan  paling  kuat  ke  arah  sana itu dimulai oleh Khalifah Umar  ibn  Abd  al-Aziz  (ibn  Marwan)  yang   dikenal sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang kepada Khalifah Umar ibn al-Khaththab.

Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang  sudah ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan Abd  al-Malik  ibn  Marwan.  Dorongan  yang  amat  kuat   untuk menyudahi  berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan penuh trauma itu telah mengharuskan kaum  Marwani  atau  Umawi untuk   menunjukkan  sikap-sikap  yang  lebih  akomodatif   dan kompromistis. Dalam  rangka  ini,  tindakan  terpenting  ialah mengakui  Ali  sebagai  khalifah yang sah, pada urutan keempat (artinya, Utsman, anggota-anggota  klan  mereka,  tetap  lebih unggul   daripada   Ali,   namun  Ali  lebih   unggul  daripada Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi  musuh  Ali). Dengan  begitu  kaum  Marwani  atau  Umawi meletakkan landasan dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di  situ  setiap kelompok  memperoleh  kehormatannya,  sedikit atau pun banyak. Tradisi ini berkembang dan  tumbuh  kuat,  dan  menjadi  dasar faham  yang  kini  merupakan  anutan  terbesar  kaum Muslim di dunia, yaitu faham yang menggabungkan antara ideologi  Jama'ah (persatuan  dan  kesatuan)  dan  ideologi  Sunnah  (faham yang memandang otoritas masa lalu  dan  tradisi  yang  sah  sebagai bahan  rujukan),  maka  disebut  Ahl  al-Sunnah wa 'l-Jama'ah, biasa disingkat dengan  Ahl  al-Sunnah,  lebih  singkat  lagi, golongan Sunni.

PENUTUP

Dikarenakan terbatasaya ruang dan sifat pembahasan, yang dapat dikemukakan di atas hanyalah masalah-masalah mendasar  tentang faham-faham  pecahan  dini  Islam,  yaitu Khawarij, Syi'ah dan Sunnah. Masing-masing pecahan itu sesungguhnya pecah  lagi  ke dalam  berbagai kelompok, kemudian dibarengi atau disusul oleh munculnya berbagai pecahan yang lain lagi.

Uraian di atas,  meskipun  jauh  dari  sempurna  dan   lengkap, diharap   dapat   memberi   gambaran  (dan   kesadaran)  betapa relatifnya pangkal skisme dalam Islam  (karena  berakar  dalam pertikaian sosial-politik yang sama sekali tidak mungkin lepas dari  konteks  ruang   dan   waktu   dalam    pengertian   yang seluas-luasnya).   Maka  dengan  jelas  dapat  dilihat   betapa absurd-nya memutlakkan  kebenaran  suatu  aliran  paham  dalam agama   (Islam).  Juga  bisa  dilihat,  betapa   problematisnya kekhalifahan dan kedudukan seorang khalifah, lebih-lebih  lagi jika  kita  perhitungkan  pandangan  semua  kelompok   mengenai masalah kekhalifahan itu.  (Patut  diperhatikan,  betapa  kaum Syi'ah  cenderung  hanya mengakui Ali, kaum Khawarij hanya Abu Bakr dan Umar, kaum Umawi lama hanya Abu Bakr,  Umar,  Utsman, plus  Mu'awiyah, kaum Marwani atau Umawi, sama dengan golongan Sunni, mengakui semuanya  namun  dengan  mengunggulkan  Utsman atas  Ali  dan  Ali  atas  Mu'awiyah. Dan setiap kelompok itu, dengan sendirinya, mempunyai sistem dan teori pembenaran  bagi pandangan   masing-masing,   tidak   jarang  dinyatakan   dalam gaya-gaya absolutistik dan "pasti benar").

Maka kesimpulannya, mungkin  yang  diperlukan  sekarang  ialah mengembangkan  dasar  fikiran  nonsektarianisme,  dan  melihat sektarianisme  sebagai  jenis   kemusyrikan,   sesuai    dengan peringatan,  "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu mereka yang memecah belah agama mereka kemudian  menjadi bersekte-sekte, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada mereka" (yakni, antara  lain,  mengaku  benar  sendiri).   [17] Sebenarnya   semangat   non-sektarianisme  inilah  salah   satu pandangan dasar  Islam  yang  dibawa  Nabi,  karena   mengambil pelajaran  dari  pengalaman  agama-agama  sebelumnya,  sebagai tercermin dalam peringatan  yang  lain,  "Sesungguhnya  mereka yang memecah belah   agama    mereka   kemudian   menjadi bersekte-sekte, engkau (Muhammad) tidak sedikit  pun  termasuk mereka." [18] Semangat non-sektarianis itulah salah satu makna yang dimaksud bahwa agama Tawhid Nabi  Ibrahim  adalah  hanif, yakni, sebagai jawab kecenderungan alami manusia untuk memihak yang  baik  dan  benar:  "Maka  ikutilah  olehmu   semua  agama Ibrahim,  secara  hanif."  [19]  Agaknya  kita semua ditantang untuk memerangi sektarianisme yang kini masih menggejala.

CATATAN

1. QS. al-Mu'minun/23:51-52.

2. QS. al-Baqarah/2:213.

3. QS. Hud/11:118-119.

4. QS. Yunus/10:19..tb5.tb5

5. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and Commentary (Jeddah: Dar al Qibla, 1403 H), h. 488, catatan 1407.

6. Sabda Nabi yang terbaca, Ikhtilaf ummati rahmah (Perbedaan  pendapat ummatku adalah rahmat). Cukup ironis bahwa justru hadits ini pun diperselisihkan, baik dari kesahihan sanadnya  maupun dari segi lafalnya yang lebih persis. Lafal lain terbaca, misalnya, Ikhtilaf al-a'immah rahmah li al-ummah (Perbedaan pendapat para imam adalah rahmat untuk ummat). Tapi betapa pun diperselisihkan hadits itu nampaknya banyak dipercayai para ahli. Rasyid Ridla, misalnya, memberi  pengantar dengan semangat hadits itu untuk penerbitan risalah  Ibn Taymiyyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Madzhab Ahl  al-Sunnah wa al-Jama'ah (Perselisihan umat dalam ibadat dan   Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), (Cairo: Mathba'at   al-Manar, 1326 H.).

7. QS. al-Ma'idah 5:51.

8. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penghindaran dari kenyataan pahit dalam sejarah Islam, salah satu unsurdalam faham Sunni ialah semacam konsensus untuk tidak   membicarakan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang menyangkut  peperangan dan perebutan posisi politik yang terjadi antara  para Sahabat Nabi sekitar seperempat abad sesudah wafat beliau. Terdapat pandangan bahwa kalangan "awam" sebaiknya   tidak membicarakan hal itu. (Lihat, misalnya, H. Muhammad  Shalih ibn Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-Abid ala Jawharat al-Tauhid [tanpa data penerbitan], hh.241-242).

9. Banyak bahan rujuknya dari literatur klasik untuk pembahasan sekitar perkembangan dini sejarah Islam yang  menyangkut fitnah besar ini. Salah satunya ialah Tarikh at-Thabari yang terkenal, yang meskipun ditulis di bawah bayangan kuat idiologi Sunni namun sampai batas yang cukup jauh tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Tapi uraian berikut hanyak dibuat dengan bersandar kepada kepada Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, tiga jilid (Chicago, The University of Chicago Press, 1974), jil. 1, passim.

10. Bukan saja samasekali tidak ada perbedaan antara al-Qur'an  pada kaum Sunni dan al-Qur'an pada kaum Syi'i. Bahkan  al-Qur'an kaum Syi'i pun ditulis dengan mengikuti ejaan atau  rasm Utsmani, baik yang diterbitkan pada masa pemerintahan  Syah Reza Pahlewi maupun yang diterbitkan pada masa pemerintahan Islam revolusioner (Khumaini). Yang pertama  diwakili oleh mushaf terbitan Mu'assasat Intisyarat Amir  Kabir, Teheran, 1343 H./1965 M. (Meskipun tidak disebutkan dalam pengantar atau lainnya bahwa mushaf itu ditulis dengan   ejaan Utsmani, namun kenyataannya ia persis sama dengan mushaf  ejaan Utsmani). Yang kedua diwakili oleh mushaf terbitan   Mu'assasat Intisyarat Shabirin, Teheran, 1405 Hijri qamari (lunar) atau 1363 Hijri Syamsi (solar). Dalam kata penutup  terbitan mushaf ini (h. 983) ditegaskan oleh penerbit bahwa   mushaf itu menggunakan ejaan yang paling asli dan paling   aktual, yang dikenal dcngall "rasm al-mushaf" atau "rasm    Utsmani." Bahkan qira'at atau bacaannya disebutkan, seperti  pada mushaf- mushaf Sunni, sebagai berasal dari riwayat Hafsh dari Ashim, "yang dari jalur lain dari Imam Ali ibn Abi Thalib."

11. Perdebatan itu terekam dalam karya seorang murid Imam Abu  Hanifah, Abu Ya'quh Yusuf, Kitab al-Kharaj.

12. QS. al-Baqarah 2:207.

13. Karena hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan de  facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut "Tahun Persatuan"  ('Am al Jama'ah). (Lihat, al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek,  Tarikh al-Tasri al-Islami, [Beirut, Dar al-Fikr, 1387 H/1967],  h. 110, juga h. 87). Dan kemudian konsep Jama'ah itu dikembangkan sebagai idiologi.

14. Sangat menarik sebagai bahan studi lebih mendalam  mempelajari berbagai polemik sekitar Ali dan Mu'awiyah ini.  Misalnya, Ibn Taymiyyah, salah seorang pemikir Sunni mazhab Hanbali yang sangat polemis terhadap golongan Syi'ah,  mengatakan, "Perilaku Mu'awiyah terhadap rakyatnya adalah  termasuk sebaik-baik perilaku para penguasa, dan rakyatnya mencintainya. Padahal telah mantap dalam al-Shahihayn    (Bukhari-Muslim) dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda,    'Sebaik-baik para pemimpinmu ialah yang kamu cinta kepada  mereka dan mereka cinta kepada kamu dan berdo'a untuk  kebaikanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu ialah yang kamu  benci kepada mereka dan mereka benci kepadamu, serta kamu   mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu." (Minhaj al-Sunnah,
jil. 3, h. 189). Sebaliknya tentang Ali, Ibn Taymiyyah masih    sempat mencatat demikian, "... Dan tatkala dia (Ali) melamar anak perempuan Abu Jahl, beliau (Nabi) bersabda, Bani  al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak  perempuan mereka kepada Ali. Dan sungguh aku tidak akan   mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sekali lagi   tidak akan mengizinkan! Kecuali jika anak Abu Thalib itu  menceraikan anak perempuanku (Fathimah) dan kemudian kawin  dengan anak perempuan mereka. Demi Allah, tidak akan berkumpul  menjadi satu anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah pada satu orang lelaki.'" (ibid., h. 194). Jadi dalam kutipan pertama Ibn Taymiyyah ingin mengesankan bahwa   Mu'awiyah bertingkah laku sesuai dengan Sunnah, dan dalam   kutipan kedua ia mau memperlihatkan betapa Ali pernah membuat    hal yang menyakiti hati Nabi.

15. Perlu diingat bahwa meskipun al-Qur'an telah dipersatukan   kodifikasinya oleh Utsman namun orang masih mengalami kesulitan untuk memastikan pembacaannya, kecuali mereka yang benar-benar mengenal bahasa Arab karena dibesarkan sebagai   orang Arab. Sedangkan mereka yang tidak demikian keadaannya   akan terbentur kepada sistem huruf Arab, sama dengan    huruf-hurut Semitik yang lain, yang hanya mengenal konsonan,    tanpa huruf hidup. Sebagai contoh tulisan Arab tingkat awal   itu berikut ini adalah (foto) kopi surat Rasulullah kepada   al-Mundzir ibn Sawi, yang diturun oleh Dr. Muhammad Hamidullah
dengan izin majalah orientalisme Jerman, Zeltschrift der    Deutschen  Morgenlandischen dalam Majmu'at al-Watsa'iq    al-Siyasiyyah li al-Ahd al-Nabawi wa Khilaafat al-Rasyidah (Beirut: Dar al-Irsyad. 1389 H/1969), dokumen No. 57 (antara    hh. 114 dan 115): Tulisan seperti di masa Rasulullah itulah yang juga digunakan untuk kodifikasi al-Qur'an oleh Utsman dan menghasilkan mushaf rasmUtsmani. Perhatikan bahwa untuk perkembangan tulisan Arab saat itu, kesulitan masih harus ditambah dengan tidak adanya perbedaan simbol untuk cukup banyak bunyi, seperti untuk    bunyi-bunyi ba', ta', tsa nun dan ya', dan antara bunyi-bunyi jim, ha' dan kha', antara dal dan dzal, antara ra' dan za' antara sin dan syin, antara shad dan dlal, antara tha' dan dha', antara 'ayn dan ghayn, akhirnya, antara fa' dan qaf. Maka penambahan beberapa diakritik, seperti satu, dua, tiga titik, di bawah dan di atas oleh al-Hajjaj merupakan fase amat penting dalam sejarah metode penulisan al-Qur'an.

16. Perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti "faham" (dalam makna "mengerti"). Penggunaan perkataan "fiqh" sebenarnya merujuk kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami (Tuhan) telah merinci berbagai ayat untuk kaum yang mengerti" (ber-fiqh)  (QS. al-An'am 6:98), dan. "... Maka hendaklah dari setiap golongan ada satu kelompok orang yang pergi (mencurahkan   perhatian) untuk memahami agama secara mendalam (ber-tafaqquh)..." (QS. al-Tawbah/9:122. Jadi yang dimaksudkan dengan  perkataan fiqh dalam firman-firman itu pendalaman ajaran keagamaan secara menyeluruh. Tapi karena dominasi dan supremasi persoalan penataan kembali masyarakat saat-saat dini sejarah Islam, khususnya pada masa dinasti Marwani itu (antara lain karena urgensi mengatasi dan menyudahi fitnah yang berkelarutan), maka segi hukum dari agama juga amat dominandan supreme, sehingga pengetahuan mengenai masalah-masalah  hukum pun dianggap fiqh par excellence. Keadaan serupa itu bertahan hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani, sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian besar kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama sistem hukum.

17. QS. al-Rum/30:32.

18. QS. al-An'am/6:169.

19. QS. Ali 'Imran/3:95. Bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah juga agama Ibrahim ditegaskan dalam cukup banyak
ayat-ayat suci, antara lain, "Katakan Muhammad, 'Sesungguhnya aku diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus,
yaitu agama yang teguh (konsisten), agama (Nabi) Ibrahim yanghanif ." (QS. al-An'am/6:161).

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174