ISLAM, IMAN DAN IHSAN
SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI

oleh Nurcholish Madjid                                   

Di antara perbendaharaan kata dalam agama  Islam  ialah  iman,
Islam  dan  ihsan.  Berdasarkan  sebuah  hadits yang terkenal,
ketiga istilah itu memberi  umat  Islam  (Sunni)  ide  tentang
Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup.  Dalam
penglihatan  itu  terkesan  adanya semacam kompartementalisasi
antara  pengertian  masing-masing  istilah  itu,    seolah-olah
setiap  satu  dari  ketiga  noktah  itu  dapat dipahami secara
tersendiri, dapat bentuk sangkutan tertentu dengan yang lain.

Sudah tentu hakikatnya tidaklah demikian. Setiap pemeluk Islam
mengetahui  dengan  pasti  bahwa  Islam (al-Islam) tidak absah
tanpa iman (al-iman), dan  iman  tidak  sempurna  tanpa  ihsan
(al-ihsan).  Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan
iman juga tidak mungkin  tanpa  inisial  Islam.  Dalam  telaah
lebih lanjut oleh para ahli, ternyata pengertian antara ketiga
istilah itu terkait satu  dengan  yang  lain,  bahkan  tumpang
tindih sehingga setiap satu dari ketiga istilah itu mengandung
makna dua istilah yang lainnya. Dalam iman terdapat Islam  dan
ihsan,  dalam  Islam  terdapat  iman dan ihsan dan dalam ihsan
terdapat iman dan Islam. Dari  sudut  pengertian  inilah  kita
melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.

Trilogi  itu  telah  mendapatkan ekspresinya dalam banyak segi
budaya Islam. Arsitektur masjid Indonesia yang banyak diilhami
oleh,  dan  pinjam  dari, gaya arsitektur kuil Hindu, mengenal
adanya seni arsitektur atap bertingkat tiga.  Seni  arsitektur
itu  sering  ditafsirkan  kembali sebagai lambang tiga jenjang
perkembangan  penghayatan  keagamaan  manusia,  yaitu  tingkat
dasar  atau  permulaan  (purwa),  tingkat menengah (madya) dan
tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana). Dan ini  dianggap
sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan ihsan, selain
juga ada tafsir kesejajarannya dengan syari'at,  thariqat  dan
ma'rifat.  Dalam  bahasa  simbolisme,  interpretasi  itu hanya
berarti penguatan pada apa yang secara laten telah  ada  dalam
masyarakat.

Berikut  ini  kita  akan  mencoba, berdasarkan pembahasan para
ulama,  apa  pengertian  ketiga  istilah  itu  dan    bagaimana
wujudnya   dalam   hidup   keagamaan  seorang   pemeluk  Islam.
Diharapkan  bahwa  dengan  memahami  lebih   baik    pengertian
istilah-istilah yang amat penting itu kemampuan kita menangkap
makna luhur agama dan pesan-pesan sucinya dapat ditingkatkan.

Pembahasan secara berurutan pengertian istilah-istilah di atas
-  pertama Islam, kemudian iman dan akhirnya ihsan - dilakukan
tanpa harus dipahami sebagai pembuatan kategori-kategori  yang
terpisah  -  sebagaimana sudah diisyaratkan - melainkan karena
keperluan untuk memudahkan pendekatan analitis belaka. Dan  di
akhir  pembahasan  ini  kita  akan  mencoba  melihat relevansi
nilai-nilai keagamaan dari iman,  Islam  dan  ihsan  itu  bagi
hidup  modern,  dengan  mengikuti pembahasan oleh seorang ahli
psikologi yang sekaligus seorang pemeluk  Islam  yang  percaya
pada  agamanya  dan mampu menerangkan bentuk-bentuk pengalaman
keagamaan Islam.

MAKNA DASAR ISLAM

Ada indikasi bahwa Islam adalah  inisial  seseorang  masuk  ke
dalam  lingkaran  ajaran  Ilahi.  Sebuah  Ayat Suci melukiskan
bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah  beriman  tapi
Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka
belumlah beriman melainkan baru ber-Islam,  sebab  iman  belum
masuk  ke  dalam  hati  mereka  (lihat, QS. al-Hujarat 49:14).
Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam  konteks
firman  itu,  kaum  Arab  Badui tersebut barulah tunduk kepada
Nabi secara lahiriah, dan itulah  makna  kebahasaan  perkataan
"Islam",  yaitu  "tunduk" atau "menyerah." Tentang hadits yang
terkenal yang menggambarkan  pengertian  masing-masing  Islam,
iman  dan  ihsan,  Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang
terdiri dari tiga unsur: Islam, iman  dan  ihsan,  yang  dalam
ketiga  unsur  itu  terselip  makna  kejenjangan:  orang mulai
dengan Islam, berkembang ke  arah  iman,  dan  memuncak  dalam
ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman
Allah,  "Kemudian  Kami  (Allah)  wariskan  Kitab  Suci    pada
kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada
yang (masih) berbuat  zalim,  dari  mereka  ada  yang   tingkat
pertengahan  (muqtashid),  dan  dari  mereka ada yang bergegas
dengan berbagai  kebijakan  dengan  izin  Allah"  (QS.   Fathir
35:32).  Menurut  Ibn  Taimiyah,  orang  yang menerima warisan
Kitab  Suci  (yakni,   mempercayai   dengan    berpegang   pada
ajaran-ajarannya)  namun masih juga berbuat zalim adalah orang
yang baru ber-Islam, menjadi  seorang  Muslim,  suatu  tingkat
permulaan  pelibatan  dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang
menjadi seorang yang beriman, menjadi  seorang  mu'min,  untuk
mencapai  tingkat  yang  lebih  tinggi, yaitu tingkat menengah
(muqtashid), yaitu orang yang telah  terbebas  dari  perbuatan
zalim,  namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam
tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri  dalam  kebenaran
itu  membuat  ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau
dzalim dan berbuat baik,  bahkan  ia  "bergegas"  dan   menjadi
"pelomba"  atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan
itulah orang yang telah ber-ihsan,  mencapai  tingkat  seorang
muhsin.  Orang  yang  telah  mencapai tingkat muqtashid dengan
imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah,
akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan
orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai  tingkat
ber-Islam  sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk
surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya
itu.  Jika  ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn
Taimiyah, al-Iman  [Kairo:  Dar  al-Thiba'at  al-Muhammadiyah,
tt.], hal. 11).

Pada  saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi
nama sebuah agama,  khususnya  agama  yang  dibawa  oleh   Nabi
Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam"
bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis  atau  sebuah
proper noun. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu
yang lebih mendalam,  yang  justru  banyak  diketemukan  dalam
Kitab  Suci.  Perkataan  itu,  sebagai  kata benda verbal yang
aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini
sikap  pasrah  atau  menyerahkan  diri kepada Tuhan. Dan sikap
itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar  dan
diterima  Tuhan:  "Sesungguhuya  agama  bagi Allah ialah sikap
pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran  3:19).  Maka  selain
dapat  diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam,
perkataan al-Islam dalam  firman  ini  bisa  diartikan  secara
lebih  umum,  yaitu  menurut makna asal atau generiknya, yaitu
"pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran  yang  menjadikan
karakteristik  pokok  semua  agama  yang  benar.  Inilah dasar
pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang benar  adalah
agama  Islam,  dalam  pengertian  semuanya  mengajarkan   sikap
pasrah kepada Tuhan, sebagaimana antara lain bisa  disimpulkan
dari firman.

Dan  janganlah  kamu sekalian berbantahan dengan para penganut
Kitab Suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan  yang  lebih  baik,
kecuali  terhadap  mereka  yang dzalim. Dan nyatakanlah kepada
mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab  Suci  yang  diturunkan
kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami
dan  Tuhan  kamu  adalah  Maha  Esa,  dan  kita   semua  pasrah
kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).

Sama dengan perkataan "al-Islam" di atas, perkataan "muslimun"
dalam  firman  itu  lebih  tepat   diartikan    menurut   makna
generiknya, yaitu "orang-orang yang pasrah kepada Tuhan." Jadi
seperti diisyaratkan  dalam  firman  itu,  perkataan  muslimun
dalam  makna  asalnya  juga  menjadi  kualifikasi para pemeluk
agama lain, khususnya  para  penganut  Kitab  Suci.  Ini   juga
diisyaratkan dalam firman,

Apakah  mereka  mencari  (agama)  selain  agama Tuhan? Padahal
telah pasrah (aslama - "ber-Islam") kepada-Nya mereka yang ada
di  langit  dan di bumi, dengan taat atau pun secara terpaksa,
dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali.  Nyatakanlah,  "Kami
percaya kepada Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada
kami, dan yang  diturunkan  kepada  Ibrahim,  Isma'il,  Ishaq,
Ya'qub  serta  anak  turun mereka, dan yang disampaikan kepada
Musa dan 'Isa serta para Nabi yang  lain  dari  Tuhan  mereka.
Kami  tidak  membeda-bedakan mereka itu, dan kita semua pasrah
(muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama  selain
sikap  pasrah  (al-Islam)  itu, ia tidak akan diterima, dan di
akkirat termasuk orang-orang  yang  merugi.  (QS.  'Alu-'lmran
3:85).

Ibn   Katsir   dalam  tafsirnya  tentang  mereka   yang  pasrah
(muslimun) itu mengatakan yang  dimaksud  ialah  "mereka  dari
kalangan  umat  ini  yang percaya pada semua Nabi yang diutus,
pada  semua  Kitab  Suci   yang   diturunkan,    mereka   tidak
mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima kebenaran segala
sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua  Nabi
yang  dibangkitkan oleh Tuhan" (Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Dar
al-Fikr,  1404  H/1984  M),  jilid  1,  hal.  380).   Sedangkan
al-Zamakhsari  memberi  makna  pada perkataan Muslimun sebagai
"mereka yang bertawhid dan mengikhlaskan diri  pada-Nya,"  dan
mengartikan  al-Islam sebagai sikap memaha-esakan (ber-tawhid)
dan  sikap  pasrah  diri  kepada  Tuhan"  (taisir   al-Kaskshaf
[Teheran:  Intisharat-e  Aftab,  tt.] jilid 1, hal. 442). Dari
berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa beragama  tanpa
sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai
"muslim" atau penganut "Islam", adalah tidak benar  dan   tidak
bakal diterima oleh Tuhan.

Selanjutnya,  penjelasan  yang  sangat  penting  tentang makna
"al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan
bahwa  "al-Islam"  mengandung dua makna adalah: pertama, ialah
sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong;  kedua,  ketulusan
dalam  sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti
difirmankan Allah, "wa rajul-an  salam-an  li  rajul-in"   (Dan
seorang  lelaki  yang  tulus  tunduk kepada satu orang lelaki)
(QS. al-Zumar 39:29). Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik,
dan  ia  adalah  seorang hamba yang berserah diri hanya kepada
Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:

Dan siapalah yang tidak  suka  kepada  agama  Ibrahim  kecuali
orang  yang  membodohi  dirinya  sendiri. Padahal sungguh Kami
telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk
orang-orang  yang  salih.  Ketika Tuhannya bersabda kepadanya,
"Berserah dirilah engkau!', lalu ia  menjawab,  "Aku  berserah
diri  (aslam-tu)  kepada Tuhan seru sekalian alam." Dan dengan
ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula
Ya'qub.   "Wahai   anak-anakku,   sesungguhnya    Allah   telah
memilihkan agama untuk kamu sekalian,  maka  janganlah  sampai
kamu   mati   kecuali  kamu  adalah  orang-orang   yang  pasrah
-muslimun- (kepada-Nya) (Q.S. al-Baqarah 2:130-132).

Katakanlah (hai hluhammad), ",Sesungguhnya  aku  telah  diberi
petunjuk  oleh  Tuhanku  ke arah jalan yang lurus. Yaitu agama
yang tegak, ajaran  Ibrahim,  yang  hanif,  dan  tidaklah   dia
termasuk  orang-orang  musyrik."  Katakan juga (hai Muhammad),
"Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku  dan  matiku
adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat bagi-Nya.
Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama  dari
kalangan orang-orang yang pasrah." (QS. al-An'am 6:161-163).

Dan  kembalilah  kamu  semua  kepada  Tuhanmu,  serta berserah
dirilah kamu semua (aslimu)  kepada-Nya  sebelum  tiba  kepada
kamu  azab,  lalu  kamu  tidak  tertolong  lagi. (QS. al-Zumar
39:54).

Demikian itu  sebagian  dari  penjelasan  yang  diberikan   Ibn
Taimiyah  tentang  makna al-Islam [lihat, Ibn Taimiyah, al-Amr
bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar  (Beirut:  Dar  al-Kitab
al-Jadid,  1976, hal. 72-3). Berdasarkan pengertian-pengertian
itu juga harus dipahami penegasan dalam al-Qur'an bahwa  semua
agama  para  Nabi  dan  Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama
yang mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah  dan  berserah
diri  secara  tulus  kepada  Tuhan  dengan  segala   qudrat dan
iradat-Nya. Maka sebagai  misal,  mengenai  Nabi  Ibrahim  as.
ditegaskan  bahwa  dia bukanlah seorang penganut agama komunal
seperti Yahudi atau Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang
tulus  mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang pasrah
kepada Tuhan (muslim) (QS. 'Ali 'Imran 3:67).  Demikian  agama
seluruh  Nabi  keturunan  Ibrahim,  khususnya anak-cucu Ya'qub
atau Bani Israil, sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab
Suci, demikian:

Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya'qub, dan
ketika ia bertanya kepada anak-anakuya, "Apakah yang akan kamu
sekalian   sembah   sepeninggalku?"   Mereka   menjawab,  "Kami
menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu,  Ibrahim,  Isma'il  dan
Ishaq,  yaitu  Tuhan  Yang Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua
pasrah (muslim)
(QS al-Baqarah 2:133).

Kemudian tentang Nabi  Musa  as.  digambarkan  melalui  ucapan
pertobatan  Fir'aun  bahwa dia, Nabi Musa, membawa ajaran agar
manusia pasrah (muslim) kepada Tuhan. Dengan begitu,  agamanya
pun  sebuah  agama Islam. Kata Fir'aun! yang berusaha bertobat
setelah melihat kebenaran,  "Aku  percaya  bahwa  tiada   Tuhan
kecuali  yang  dipercayai  oleh  Bani Israil, dan aku termasuk
orang-orang yang pasrah  -muslimun-  (kepadaNya)
"  (QS.  Yunus
90:10).  Demikian pula, sebuah ilustrasi tentang Nabi 'Isa dan
para pengikutnya, menunjukkan bahwa  agama  yang  diajarkannya
pun   adalah   sebuah  agama  Islam,  dalam  arti   agama  yang
mengajarkan sikap pasrah kepada-Nya:

Maka ketika 'Isa merasakan adanya  sikap  ingkar  dari  mereka
(kaumnya),  ia  berkata,  "Siapa yang akan menjadi pendukungku
kepada Allah?" Para pengikut setianya (al-Hawariyyun) berkata,
"Kamilah  para  pendukung  (menuju) Allah, kami beriman kepada
Allah, dan saksikanlah  bahwa  kami  adalah  orang-orang  yang
pasrah -muslimun- (kepada-Nya).
(QS. 'Ali 'Imran 3:52).

Karena  semua  agama  yang benar adalah agama yang mengajarkan
sikap pasrah kepada Tuhan, maka tidak  ada  agama  atau  sikap
keagamaan yang bakal diterima Tuhan selain sikap pasrah kepada
Tuhan atau Islam itu. Dan karena Islam pada dasarnya  bukanlah
suatu  proper  name  untuk  sebuah  agama tertentu (para Nabi,
Rasul dan umat terdahulu yang  digambarkan  dalam  Kitab  Suci
sebagai  orang-orang  yang  pasrah  kepada Tuhan itu pun tidak
menggunakan lafal harfiah  "Islam"  atau  pun   "muslim")  maka
orang  pemeluk  Islam sekarang ini, juga seorang muslim, masih
tetap dituntut untuk mengembangkan dalam dirinya kemampuan dan
kemauan  untuk  tunduk  patuh  serta  pasrah dan terserah diri
kepada Tuhan dengan setulus-tulusnya. Hanya dengan  itu  agama
dan keagamaan bakal diterima Allah, dan di akhirat tidak bakal
termasuk mereka yang merugi. Inilah yang  sebenarnya  dimaksud
oleh  firman  Allah,  "Sesungguhnya  agama  bagi  Allah   ialah
al-Islam (yaitu sikap pasrah yang tulus kepada-Nya) (QS.  'Ali
'Imran  3:19),  serta  firman Allah: "Dan barangsiapa menganut
selain al-Islam (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama maka
ia tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk mereka
yang menyesal"- (QS. 'Ali 'Imran  3:85).  Sudah  terang  bahwa
Islam  dalam  pengertian  ini  mustahil  tanpa iman, karena ia
dapat tumbuh  hanya  kalau  seseorang  memiliki  rasa   percaya
kepada Allah yang tulus dan penuh.

PENGERTIAN DASAR IMAN

Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap
percaya, dalam hal ini khususnya  percaya  pada  masing-masing
rukun  iman  yang  enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya
pada masing-masing rukun iman itu  memang  mendasari  tindakan
seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu
adalah wajar dan benar.

Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak  cukup
hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu
belaka,    tapi    menuntut    perwujudan     lahiriah     atau
eksternalisasinya  dalam  tindakan-tindakan.  Dalam pengertian
inilah kita memahami sabda Nabi  bahwa  iman  mempunyai  lebih
dari  tujuh  puluh  tingkat,  yang  paling tinggi ialah ucapan
Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah  menyingkirkan
bahaya di jalanan:



Juga  dalam  pengertian  ini  kita  memahami sabda Nabi, "Demi
Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak  beriman!"  Lalu
orang  bertanya,  "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab,
"Orang  yang  tetangganya  tidak  merasa  aman  dari   kelakuan
buruknya."  Lalu  orang  bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya
apa?" Beliau Jawab, "Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan."

Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu
tidak  akan  masuk  surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak
beriman sebelum  kamu  saling  mencintai.  Belumkah  aku   beri
petunjuk  kamu  tentang  sesuatu  yang jika kamu kerjakan kamu
akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama
kamu!"

Keterpaduan   antara   iman   dan  perbuatan  yang   baik  juga
dicerminkan dengan jelas dalam sabda  Nabi  bahwa  orang  yang
berzina,  tidaklah  beriman  ketika ia berzina, dan orang yang
meminum arak tidaklah beriman  ketika  ia  meminum  arak,  dan
orang  yang  mencuri  tidaklah  beriman ketika ia mencuri, dan
seseorang  tidak  akan  membuat   teriakan   menakutkan    yang
mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman."

Tiadanya  iman  dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu
ialah   karena   iman   itu   terangkat    dari   jiwanya   dan
"melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian
itu keterangan tentang iman yang  dikaitkan  dengan  perbuatan
baik  atau  budi pekerti luhur. (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman,
hal.l2-13).

Berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna  iman  dapat  berarti
sejajar  dengan  kebaikan  atau  perbuatan baik. Ini dikuatkan
oleh adanya riwayat tentang orang yang  bertanya  kepada  Nabi
tentang  iman,  namun  turun  wahyu  jawaban tentang kebajikan
(al-birr), yaitu:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah
Timur  atau  pun  Barat.  Tetapi  kebajikan  ialah   jika orang
beriman kepada Allah, hari Kemudian, para malaikat, Kitab Suci
dan para Nabi. Dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim
orang-orang  miskin,  orang terlantar di perjalanan, dan untuk
orang yang terbelenggu perbudakan.  Kemudian  jika  orang  itu
menegakkan  shalat  dan  mengeluarkan  zakat. Juga mereka yang
menepati janji jika  membuat  perjanjian,  serta  tabah  dalam
kesusahan,  penderitaan  dan  masa-masa  sulit.  Mereka itulah
orang-orang yang tulus, dan  mereka  itulah  orang-orang  yang
bertaqwa." (QS. 2:177).

Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci
dan  sunnah  Nabi  sering  memiliki  makna  yang  sama   dengan
perkataan  kebajikan  (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din)
pada  Tuhan  (al-din)  (Lihat  Ibn  Taimiyah,  al-Iman,    hal.
162-153).

PENGERTIAN DASAR IHSAN

Dalam hadits yang disinggung di atas, Nabi menjelaskan, "Ihsan
ialah  bahwa  engkau  menyembah   Allah   seakan-akan    engkau
melihat-Nya,   dan   kalau   engkau  tidak   melihat-Nya,  maka
sesungguhnya Dia melihat engkau."  Maka  ihsan  adalah  ajaran
tentang  penghayatan  pekat  akan  hadirnya Tuhan dalam hidup,
melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap  dan  berada
di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Ihsan adalah pendidikan
atau latihan untuk mencapai dalam  arti  sesungguhnya.  Karena
itu,  seperti  dikatakan  Ibn  Taimiyah di atas, ihsan menjadi
puncak tertinggi keagamaan manusia. Ia  tegaskan  bahwa  makna
ihsan  lebih meliputi daripada iman, dan karena itu, pelakunya
adalah lebih khusus daripada  pelaku  iman,  sebagaimana  iman
lebih  meliputi  daripada  Islam,  sehingga  pelaku iman lebih
khusus  daripada  pelaku  Islam.  Sebab  dalam   Ihsan    sudah
terkandung  iman  dan  Islam,  sebagaimana  dalam  iman   sudah
terkandung Islam (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman, hal. 11).

Kemudian, kata-kata ihsan itu sendiri secara  harfiah  berarti
"berbuat baik." Seorang yang ber-ihsan disebut muhsin, sebagai
seorang  yang  ber-iman  disebut  mu'min  dan  yang   ber-Islam
disebut muslim. Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan
keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi
pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa
yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah  yang  paling
baik  ahlaqnya,  sebagaimana  disebutkan  dalam  sebuah hadits
. Dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada  Allah
atau  Islam,  orang yang ber-ihsan disebutkan dalam Kitab Suci
sebagai orang yang paling baik keagamaannya:
Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada  orang  yang
memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah dan dia adalah orang
yang berbuat kebaikan (muhsin), lagi pula ia  mengikuti  agama
Ibrahim   secara   tulus  mencari  kebenaran   (hanif-an)  (QS.
al-Nisa: 4:125).

Ihsan dalam arti akhlaq mulia atau pendidikan ke  arah  akhlaq
mulia   sebagai  pucak  keagamaan  dapat  dipahami   juga  dari
beberapa hadits  terkenal  seperti  "Sesungguhnya  aku   diutus
hanyalah   untuk   menyempurnakan   berbagai  keluhuran   budi"
[tulisan  Arab]  dan  sabda  Beliau  lagi  bahwa  yang   paling
memasukkan  orang  ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
keluhuran budi pekerti."

Jika kita renungkan lebih jauh,  sesungguhnya  makna-makna  di
atas  itu  tidak  berbeda  jauh dari yang secara umum dipahami
oleh  orang-orang  muslim,  yaitu   bahwa   dimensi    vertikal
pandangan  hidup  kita  (iman  dan  taqwa  --habl  min al-Lah,
dilambangkan oleh takbir pertama atau takbirat al-Ihram  dalam
shalat)  selalu, dan seharusnya, melahirkan dimensi horizontal
pandangan hidup kita  (amal  salih,  akhlaq  mulia,  habl   min
al-nas,  dilambangkan oleh ucapan salam atau taslim pada akhir
shalat).  Jadi  makna-makna  tersebut  sangat  sejalan   dengan
pengertian  umum  tentang  keagamaan.  Maka sebenarnya di sini
hanya dibuat penjabaran sedikit lebih mendalam  dan  penegasan
sedikit lebih kuat terhadap makna-makna umum itu.

Ihsan, Tasawuf dan Psikoterapi

Dalam  kaitannya  dengan  pendidikan akhlaq mulia kita melihat
hubungan ihsan dengan ajaran kesufian  atau  tasawuf.  Menurut
K.H.  Muhammad  Hasyim  Asy'ari, dengan mengutip Kitab Futuhat
al-Ilahiyyah, ada delapan  syarat  yang  harus  dipenuhi  oleh
orang  yang  bakal  menjalankan  thariqat:  1)  qashd   shahih,
artinya, dalam  menjalani  thariqat  itu  ia  harus   mempunyai
tujuan  yang benar, yaitu niat menjalaninya sebagai ubudiyyah,
yakni penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar (al-Haqq),
dan  berniat  memenuhi  haqq al-rubbiyyah, yakni hak Ketuhanan
Allah Ta'ala, bukan untuk meraih keramat  atau  pangkat,  juga
bukan untuk memperoleh hasil yang bersifat nafsu seperti ingin
dipuji orang lain dan seterusnya;  2)  shidq  sharif,  artinya
kejujuran  yang tegas, yaitu bahwa murid harus membenarkan dan
memandang gurunya sebagai memiliki rahasia keistimewaan  (sirr
al-khushushiyyah
)  yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi
atau  hadlrat  al-ilahiyyah;  3)  adab  murdliyyah,    artinya,
tatakrama  yang  diridhai,  yaitu  bahwa  orang yang mengikuti
thariqat harus menjalankan tatakrama  yang  dibenarkan  ajaran
agama,  seperti  sikap  kasih  sayang  kepada orang yang lebih
rendah,  menghormati  orang  lain  sesamanya  dan  yang   lebih
tinggi, sikap jujur, adil dan lurus terhadap diri sendiri, dan
tidak memberi  pertolongan  kepada  orang  lain  hanya   karena
kepentingan  diri  sendiri; 4) akwal zakiyyah artinya, tingkah
laku yang bersih, yaitu bahwa orang  masuk  thariqat  tersebut
tingkah  lakunya  dan  ucapan-ucapannya  harus  sejalan dengan
syari'at Nabi  Muhammad  saw.;  5)  hifz  al-hurmah,   artinya,
menjaga  kehormatan, yaitu bahwa orang yang mengikuti thariqat
harus menghormati gurunya, hadir atau  gaib,  hidup  atau  pun
mati, dan menghormati sesama saudara pemeluk Islam, tabah atas
sikap-sikap permusuhan saudara, dengan menghormati orang  yang
lebih  tinggi  dan cinta kasih kepada orang yang lebih rendah;
6) husn al-khidmah, artinya, orang yang masuk  thariqat  harus
mempertinggi   mutu  pelayanannya  kepada  guru,  pada   sesama
saudara  pemeluk  Islam,  dan   kepada   Allah    swt.   dengan
menjalankan    segala   perintah-Nya   dan    menjauhi   segala
larangannya al-shiddiq-un  dan  itulah  al-maqshud  al-a'dzham
(tujuan agung) mengikuti thariqat; 7) raf' al-himmah, artinya,
mempertinggi mutu tekad hati, yaitu bahwa orang masuk thariqat
tidak  karena  tujuan-tujuan  dunia  dan  akhirat  tapi karena
hendak mencapai ma'rifat khashshah (ma'rifat atau  pengetahuan
khusus   atau   istimewa)   tentang   Allah   swt.;  8)  nufudz
al-'azimah,
artinya, kelestarian tekad dan tujuan, yaitu bahwa
orang  yang masuk thariqat harus menjaga kelestarian tekad dan
tujuannya, memelihara kelanjutan menjalankan thariqatnya, demi
meraih  ma'rifat  khashshah  tentang  Allah  Ta'ala,  dan bila
melakukan  kebajikan  maka  ia  melakukannya  dengan    lestari
sehingga  berhasil  (Lihat, Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Durrar
al-Muntatshirah fi al-Masa'il al-Tis' al'Asyarah
(tanpa tempat
penerbitan,  1359  H/1940  M,  hal. 16-17). KH. Hasyim Asy'ari
juga  menegaskan  bahwa  tujuan  menjalankan  thariqat    ialah
mempertinggi  tatakrama,  abad atau akhlaq. Ia mengutip sebuah
syair dari Kitab Al-Mabahits al-Ashliyyah, demikian:

Tujuan  thariqat  ialah  pendidikan  tatakrama,  dalam   segala
tingkah laku, dan itulah madzhabnya.

Dengan  mengutip  Abu al-Hasan al-Syadzili, KH. Hasyim Asy'ari
mengetengahkan empat  tatakrama  yang  seseorang  tidak  dapat
disebut  pengikut  thariqat jika tidak menjalaninya, betapapun
luasnya  pengetahuan  orang  tersebut.  Empat  tatakrama   atau
akhlaq  itu  ialah:  1)  menjauhi  semua  orang yang bertindak
dzalim, seperti penguasa atau orang kaya  yang  berlaku  tidak
adil  pada  orang  lain;  2) menghormati orang yang memusatkan
perhatiannya pada akhirat; 3) menolong kaum melarat; 4) selalu
melakukan  shalat  berjama'ah  dengan orang banyak (ibid, hal.
17).

Kata K.H. Hasyim Asy'ari selanjutnya, "Telah berkata Imam Muhy
al-Din  Ibn  al'Arabi, ra. Adapun empat akhlak itu, maka siapa
saja  yang  menjalankan  keempat-empatnya,  ia  sungguh   telah
menggabungkan  semua  kebajikan,  yaitu:  1)  ta'zhim   hurumat
al-muslimin,
artinya, menjunjung kehormatan semua orang Islam;
2)  khidmat  al-fuqara  wa  al-masakin, artinya, melayani kaum
fakir-miskin; 3) wa l-inshaf min nafsihi, artinya,  jujur  dan
adil   mengenai  diri  sendiri;  4)  tark  al-intishar   la-ha,
artinya,  tidak  memberi  pertolongan  hanya   semata    karena
kepentingan diri sendiri." (ibid, hal. 18).

Selanjutoya,  KH.  Hasyim Asy'ari, dengan mengutip Suhrawardi,
menjelaskan  bahwa  jalan   kaum   sufi   ialah    niat   untuk
membersihkan   jiwa   dan  menjaga  hawa  nafsu,   serta  untuk
melepaskan diri dari berbagai bentuk  'ujub,  takabbur,  riya'
dan  hubb  al-dunya  (kagum  pada  diri sendiri, sombong, suka
pamrih, dan cinta kehidupan  duniawi),  dan  lain  sebagainya,
serta menjalani budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti
ikhlas,  rendah  hati  (tawadldlu),  tawakkal  (bersandar   dan
percaya  kepada  Tuhan),  selalu memberikan perkenan hati pada
setiap  kejadian  dan  terhadap  orang   lain    (ridla),   dan
seterusnya, serta karena hendak memperoleh ma'rifat dari Allah
dan tatakrama di hadapan Allah (ibid, hal. 18).

Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa menurut banyak  ulama,  tasawuf
mengandung berbagai hakikat dan keadaan tertentu yang membahas
segi-segi kelakuan dan akhlaq para pengamalnya.  Ada  kalangan
yang  mengatakan  bahwa  seorang  sufi ialah orang yang bersih
(shafa) dari  kekotoran,  penuh  dengan  pemikiran,  dan   yang
baginya  sama saja antara nilai emas dan batu-batuan. Kemudian
mereka  lanjutkan  kesufian  itu  mencapai  makna  orang   yang
berkata  benar  (al-siddiq), dan semulia-mulia manusia setelah
para nabi ialah orang-orang yang berkata  benar  itu,  seperti
difirmankan  Allah,  "Mereka itulah orang-orang yang diberikan
nikmat kebahagiaan oleh Allah, yang terdiri  dari  para  Nabi,
orang-orang  yang berkata benar, para syuhada, dan orang-orang
salih. Sungguh baik mereka itu dalam perkawanan" (QS. al-Nisa'
4:69).  Karena  itu,  bagi  mereka sesudah para nabi tidak ada
yang lebih mulia daripada kaum sufi. Namun  sesungguhnya  kaum
sufi  termasuk jenis tertentu kelompok orang-orang yang benar,
yaitu orang yang benar dalam zuhud atau asketisme  dan  ibadat
menurut  cara  yang  mereka ijtihadkan. Jadi orang sufi adalah
al-shiddzq dalam arti di  kalangan  para  pengamal  zuhud  dan
ibadat  itu,  sebagaimana  juga adanya al-shiddiqu di kalangan
para ulama, al-shiddiq-u di kalangan para umara (pejabat), dan
seterusnya.  Mereka  belum tentu mencapai derajat al-shiddiq-u
mutlak, yang sempurna  kualitas  kebenarannya  dalam  berkata,
yang  terdiri  dari  para  sahabat Nabi, kaum Tabi'un dan kaum
pengikut Tabi'un itu [Ibn Taimiyah, al-Shufiyyah wa al-Furuqa,
(Cairo: al-Manar, 1348 H.), hal. 17-18].

Kesufian  merupakan  cabang  keagamaan dalam Islam yang sering
kontroversial.  Beberapa  tokohnya  menjadi  sasaran    kritik,
bahkan  penyiksaan  atau pembunuhan, disebabkan pendirian atau
praktek mereka yang dianggap menyimpang dari agama yang benar.
Sekalipun KH. Hasyim Asy'ari, seperti terbukti dari keterangan
di atas demikian menghargai tasawuf dan kaum  sufi,  namun  ia
dikenal sangat keras terhadap setiap gejala penyimpangan dalam
amalan thariqat. Sikap ini ia ungkapkan dalam risalahnya  yang
ia tulis pada tahun 1360 H. Al-Tibyanfi al-Nahy 'an Muqatha'at
al-Arham  wa  al-Aqarib  wa  al-Ikhwan 
(Surabaya:   Percetakan
Nahdlatul Ulama, tt.).

Ibn  Taimiyah  melacaki  sejarah munculnya kaum sufi dan paham
tasawuf itu dari  orientasi  keagamaan  yang  tumbuh  di   kota
Basrah,   Irak,  yang  menunjukkan  ciri-ciri  kezuhudan   yang
tinggi. Berbeda dengan  para  ulama  kota  Kuffah  yang   lebih
banyak   mencurahkan   perhatian   pada   bidang    hukum   dan
mengembangkan keahlian di bidang fiqh, para ulama kota  Basrah
menghayati   agama   dalam   spiritualisme   yang    pekat  dan
menumbuhkan   amalan-amalan   guna   mempertinggi    pengalaman
keagamaan  yang mendalam. Mereka dikenal sebagai para pengamal
ubudiah  (al-'ubbad),  para  pengamal  kezuhudan  (al-zuhhad),
dengan  titik orientasi keagamaan yang berbeda dari para ulama
Kuffah.  Namun,  menurut  Ibn  Taimiyah,  kedua  kelompok   itu
sama-sama  berhak  memperoleh sebutan al-shiddiq-u, hanya saja
masing-masing menempuh jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya
menurut ijtihad yang mereka lakukan.

Tapi,  lanjut  Ibn  Taimiyah  dalam  penjelasannya,  karena di
kalangan mereka terjadi banyak ijtihad dan perbedaan pendapat,
maka  masyarakat  pun  berselisih  dalam  menilai  kaum   sufi.
Sekelompok orang memandang mereka sebagai kaum pembuat  bid'ah
dan   menyimpang   dari   sunnah,  dan  banyak   dikutip  orang
pernyataan serupa itu dari  kalangan  para  ulama  yang  sudah
dikenal. Pandangan serupa ini banyak dianut oleh kalangan ahli
fiqh dan kalam. Kemudian segolongan masyarakat lain berlebihan
dalam  penilaian  positif  mereka pada kaum sufi. Golongan ini
melihat kaum sufi sebagai  makhluk  paling  utama  dan  paling
mulia  setelah  para Nabi. Ibn Taimiyah menegaskan bahwa kedua
pandangan yang ekstrem itu tercela.  Yang  benar  ialah  bahwa
kaum  sufi  adalah  orang-orang  yang berijtihad dalam menaati
Allah, sebagai golongan  lain  yang  taat  kepada  Allah   juga
melakukan  ijtihad.  Maka  di  kalangan kaum sufi ada golongan
pemuka  (al-sabiq)  yang  memperoleh  kedekatan  (al-muqarrab)
kepada  Allah  setingkat  dengan ijtihadnya. Juga ada golongan
yang sedang-sedang saja (al-muqtashid), yang termasuk kelompok
ahl   al-yamin   ("kelompok   kanan"  seperti   disebutkan  QS.
al-Waqi'ah 56:38). Dan pada  masing-masing  golongan  itu  ada
yang  melakukan  ijtihad  lalu  membuat  kesalahan,  ada   yang
berdosa  dan  kemudian  bertobat  atau  tidak  bertobat.   Dari
kalangan  mereka yang mengikuti kaum sufi juga ada orang-orang
yang dzalim dan membangkang pada Tuhannya (ibid, hal.  19-20).
"Dan",  tandas Ibn Taimiyah, "barang siapa menganggap tercela,
terhina dan terkutuk setiap orang yang melakukan ijtihad dalam
usaha  taat  kepada  Allah  namun pada membuat kesalahan dalam
beberapa perkara, maka ia keliru,  sesat  dan  pembuat  bid'ah
(ibid,  hal.  16).  Anggapan serupa itu, menurut Ibn Taimiyah,
adalah pendirian kaum ekstremis. Lalu ia tegaskan  bahwa  "Ahl
al-Sunnah  wa al-Jama'ah menganut pandangan seperti disebutkan
dalam  Kitab,  sunnah  dan  ijma"  yaitu  bahwa   seorang  yang
beriman,  berdasarkan  janji  Allah  dan kemurahan-Nya, berhak
atas pahala untuk kebaikan-kebaikannya dan berhak  atas  siksa
untuk  kejahatan-kejahatannya, dan bahwa dalam diri satu orang
tergabung sesuatu (kebaikan) yang bakal  mendapat  pahala  dan
sesuatu  (kejahatan)  yang  bakal  mendapat  siksa,  juga   ada
sesuatu yang terpuji dan ada sesuatu yang tercela, sebagaimana
juga  ada sesuatu yang menyenangkan dan ada sesuatu yang tidak
menyenangkan, dan begitu seterusnya." (ibid, hal. 17).

Jadi ihsan yang diwujudkan secara nyata dalam tasawuf, kemudian
yang dipraktekkan melalui ajaran thariqat, pada analisa terakhir
adalah sebuah wawasan tentang kebulatan, kebenaran, atau
kebenaran dalam dimensinya yang utuh. Kemampuan menangkap
kebenaran yang utuh itulah tingkat yang paling sulit dicapai oleh
manusia, bahkan juga yang paling sulit dipahami. Sebabnya ialah,
kebenaran dalam dimensinya yang utuh, justru dalam dirinya
mengandung paradoks, dan orang dapat belajar menangkap
keutuhan kebenaran itu jika ia terlatih melihat paradoks-paradoks
dan berusaha menangkap apa hakikat yang ada di balik
penampakkan lahiriahnya itu.  

Pembahasan tentang kebenaran yang utuh dalam wujud yang
paradoksal itu biasanya dilakukan dengan merujuk pada kisah dalam
Kitab Suci tentang Nabi Musa as., dengan seorang yang dilukiskan
sebagai seorang hamba Allah yang memperoleh 'ilmu ladunni, yaitu
ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Tokoh ini dalam literatur
kesufian biasa diidentifikasi sebagai Nabi Khidlir (al-Khidlr), yang
agaknya merupakan nama perlambang akan kebenaran yang selalu
hijau agar dan tidak pernah mati (khidlr artinya hijau). Dalam kisah itu
dituturkan bagaimana seorang Nabi yang hebat seperti Musa tidak
tahan, dan memprotes keras sekali-kali melihat tingkah laku orang tua
yang bijak dan menjadi gurunya itu, seperti tindaknya merusak perahu
milik seorang nelayan miskin, membunuh bocah yang sedang asyik
bermain dan menegakkan tembok rumah yang hampir roboh di
sebuah desa yang penduduknya bersikap tidak ramah pada mereka
berdua. Dan barulah Musa paham akan tingkah laku aneh gurunya itu
ketika ia memperoleh keterangan saat mereka hendak berpisah: guru
itu merusak perahu nelayan miskin, ialah justru untuk menyelamatkan
miliknya yang berharga itu dari bahaya perampok yang memilih
perahu-perahu --yang nampak baik dan utuh; ia bunuh bocah itu
karena ia tahu dari Allah bahwa anak itu akan tumbuh menjadi
penjahat dan membuat sengsara orang tuanya, padahal orang tuanya
adalah lelaki-perempuan yang saleh, dan ia juga tahu Allah akan
menggantinya dengan anak yang lebih suci; ia tegakkan tembok rumah
yang hendak roboh itu, karena di dalamnya terdapat harta anak yatim
yang kini tinggal di kota dan ia bermaksud melindungi harta itu
sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak yatim tersebut dan selamat
dari gangguan pencurian penduduk desa yang akhlaqnya rendah itu.  

Penampilan paradoksal tokoh-tokoh kesufian sudah cukup terkenal.
Bahkan dalam anggapan yang sangat umum, keanehan sering justru
dianggap sebaga bagian dari kualtias tokoh tersebut sebagai "orang
suci" atau kekasih Allah (wali). Namun justru disini letak masalahnya
yang paling pelik, yaitu, menurut para filsuf kesufian sendiri, tidak ada
seorang wali yang mengaku sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal
yang aneh agar disebut sebagai wali, apalagi melakukan hal-hal yang
aneh agar disebut sebagai seorang wali. Juga tak ada yang tahu bahwa
seseorang itu wali kecuali seorang wali sendiri. Seperti dikatakan oleh
penulis kitab Nata'ij al-Afkar sebagaimana dikutip ole KH. Hasyim
Asyari:   Seorang wali tidak akan membuka pintu ketenaran dan
pengakuan, bahkan kalau seandainya ia mampu mengubur dirinya
tentu ia akan lakukan hal itu. Maka siapa saja yang menginginkan
dirinya menonjol, tidaklah dia termasuk golongan thariqat sedikit pun
juga, malah sebaliknya, dia berlawanan dengan tingkah laku mereka
(golongan thariqat). (Muhammad Hasyim Asy'ari, Al- Durar antara
lain Muntatsirah fi al-Masa'il al-Tis' al-'Asyarah," dalam op cit, hal.
8-9)  

Pandangan tentang keutuhan kebenaran yang mengandung paradoks
ini juga dicerminkan dalam keterangan tentang sifat atau sikap Allah
sendiri, seperti misalnya, bahwa Dia adalah Awal dan yang Akhir,
yang Lahir dan yang Batin, dan bahwa Dia adalah Maha Pengampun
dan Maha Penyayang, tapi juga Maha Dahsyat azhab-Nya:  

Beritahukan kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku
Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, dan bahwa
sesungguhnya azabku adalah azab yang amat pedih (Q.S. al-Hijr 15:49-50).  

Oleh karena Tuhan adalah Maha Esa (ahad; wahid), maka tidak mungkin
Wujud-Nya terdiri dari dua bagian, pertama sebagai Yang Maha
Pengampun dan Maha Penyayang, dan kedua sebagai yang azab-Nya
amat pedih. Paradoks itu hanyalah suatu wujud nisbi, sedangkan wujud
mutlaknya berada di balik paradoks itu, yang justru karena
kemutlakannya maka manusia tidak akan mampu menangkapnya.
Manusia hanya harus melatih diri untuk melihat paradoks-paradoks, den
mencoba memperoleh cita rasa (menurut istilah al-Ghazali, dzawq)
kebenaran yang utuh di balik paradoks-paradoks, tanpa mesti
mengetahui hakikatnya yang mutlak dan tak mungkin diraih yang nisbi itu.  

Dengan mengutip Risalah Qusyayriyyah den syarahnya, KH. Hasyim
Asy'ari bahwa tauhid mengenal tigajenjang: pertama penilaian bahwa
Allah satu adanya; kedua, pengetahuan (dengan ilmu den teori) bahwa
Allah itu satu adanya; den ketiga, timbulnya cita rasa penglihatan pada
Yang Maha Benar (al-Haqq). Yang pertama, adalah tauhid kaum awam;
yang kedua, tauhid para ulama kaum eksoteris (ahl al-zhahir); dan yang
ketiga, adalah tauhid kaum sufi yang telah mencapai ma'rifat dan yang
memiliki pengalaman tentang hakikat. (Hasyim Asy'ari, "Al-Durrar,"
dalam op. cit., hal. 10-11).  

PENUTUP  
Hukum paradoks yang oleh kaum sufi dicoba dihayati secara intens itu
adalah sesungguhnya hukum atau Sunnah Allah (Sunnatullah) juga,
seperti disebutkan dalam firman Allah: "Dan dari segala sesuatu Kami
ciptakan wujud berpasangan (yakni, terdiri dari dua bagian yang
paradoksal), agar kamu renungkan." (Q.S. al-Dzariyat 51:49). 

Maha Suci Dia yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-
pasangan; dari segala sesuatu yang ditumbuhkan bumi, dari diri mereka
(manusia) sendiri, dan dari hal-hal lain yang tidak kamu ketahui (yakni,
tidak dapat kamu pahami). (Q.S. Yasin 36:36) 

Sebuah hadits menyebutkan tentang adanya sabda Nabi saw.
"Berakhlaq kamu dengan akhlaq Allah." Berkenaan dengan masalah
hukum paradoksal ini, sabda Nabi itu tentunya juga dimaksudkan antara
lain agar kita mempunyai sikap menghayati melalui cita rasa, akan
kebenaran yang utuh, yang mungkin terdiri dari paradoks-paradoks,
dengan mencoba menerima hikmah yang ada di belakang, seperti
(seharusnya) sikap Nabi Musa terhadap tingkah laku gurunya, al-Khidlr. 

Dengan menerima kenyataan-kenyataun paradoksal sambil meyakini
adanya hikmah di balik penampakan lahiriahnya, seseorang akan
mengalami ketenteraman, atau gejolak untuk "memberontak" akibat
sikap menolak paradoks-paradoks dapat ditekan. Ini dapat mempunyai
dampak penyembuhan den penyehatan jiwa, seperti saat sekarang mulai
banyak digunakan dalam teknik-teknik penyembuhan psikoterapis.
Dikatakan oleh Prof. Muhammad Shaalan, Guru Besar den ketua
Departemen Neuro-pschiciatry Universitas Al-Azhar, Kairo, yang
melihat kaitan pengalaman kesufian dengan psikologi modern aliran C.G.
Jung:  

The use paradox is not explicitly described as a technique in jungian
therapy, but the basis of it is there. Recently it has been given a
name and clarified as technique. Paradoxes serve to bring out a
person from complacency of accepting either I or concepts so that a
different and higher state of consciousness is attained immediately. 

With the sufi, the use of paradox is not restricted to technique but is
a genuine expression of his state of consciousness. By example and
action rather than by preaching and teaching, a sufi conveys
directly to the intuition of his follower the paradoxical naure of
truth
(Prof. Dr. Muhammad Shaalan, "Some Parallel between Sufi
Practices and the path of individucation",
dalam J. Marvin
Spiegelman, Ph.D., et al., ed., Sufism, Islam and Jungian Psychology
(Scottsdale, Arizona: Falcon Press, 1991), hal. 88.  

(Penggunaan paradoks tidak dengan jelas digambarkan sebagai suatu
teknik -penyembahan- dalam terapi care Jung, tetapi dasarnya ada di
sana. Baru-baru ini paradoks itu telah diberi sebuah name dan dijelaskan
sebagai teknik. Paradoks berguna untuk melepaskan seseorang dari rasa
puas diri dalam menerima konsep-konsep yang bersifat ya atau tidak,
sehingga tingkat kesadaran yang berbeda den lebih tinggi dapat segera
dicapai.   Dengan seorang Sufi, penggunaan paradoks tidak dibatasi
hanya sebagai teknik tetapi merupakan suatu ekspresi sejati tingkat
kesadaran Sufi itu. Melalui percontohan den tindakan, dan bukannya
melalui wejangan dan pengajaran, seorang sufi secara langsung
menyajikan intuisi pengikutnya sifat paradoksal dari kebenaran).  

Sebuah ayat menegaskan bahwa kita harus bersifat adil sekaligus
melakukan ihsan yaitu firman Allah: "Sesungguhnya Allah memerintahkan
sikap adil dan ihsan" (QS. al-Nahl 16:90) 

Dari berbagai kemungkinan tafsir atas firman itu, melakukan keadilan
terhadap segala suatu ialah memahaminya dalam kerangka pandangan
yang berkeseimbangan ('adl sendiri artinya seimbang) antara
bagian-bagian yang nampak paradoksal, tanpa berat sebelah, dan
dengan sikap menerima menurut apa adanya. Kemudian ihsan dapat
diartikan sebagai usaha penuh ketulusan untuk mengapresiasikan segi
hikmah di balik paradoks-paradoks. Maka sikap tulus dan pasrah, yaitu
Islam, tidak mungkin tanpa sikap percaya pada Allah, yaitu iman, yang
menghasilkan pandangan positif-optimis pada-Nya dan ciptaan-Nya.
Dari sini juga nampak dengan jelas bahwa Islam akan membawa kita
pada kedamaian (salam) dan keselamatan (salamah), dan iman akan
menghantarkan kita ke aman (rasa sentosa) dan rasa terlindung atau
proteksi (amanah), kemudian, akhirnya ihsan akan membingungkan kita
menuju hidup yang bahagia (hasanah). 
--------------------------------------------

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021)